Budaya (rebowagen.com)– Terdengar suara menggelegar yang mengagetkan, disertai ilustrasi musik dengan ritme volume tinggi rendah. Suaranya menguasai suasana di dalam ruangan. Penonton mulai terdiam, ada yang menutup mata dengan jari tangan terbuka. Takut dan penasaran campur aduk tidak karuan. Dalam adegan, tampak seseorang duduk bersila, memejamkan kedua matanya, mulutnya komat-kamit seakan sedang ‘merapal‘ suatu mantra. Di depannya terdapat tempat pembakaran dupa yang mengepulkan asap tebal. Tak berselang lama, selesai berkomat-kamit, orang yang duduk bersila tadi mengucapkan kalimat yang berisi kata-kata untuk maksud mencelakai seseorang. Tangannya kemudian menaburkan bubuk kemenyan. Sejurus kemudian asap putih mengepul lagi. Asap bercampur bau kemenyan ini membumbung tinggi memenuhi pandangan mata penonton. Mata sang dukun berbaju serba hitam itu menyala merah. Rambutnya putih panjang dan dibuat acak-acakan. Musik dan suasana yang mengilustrasikan kengerian, benar-benar berhasil membangun suasana horor, mistis dan ‘dunia hitam‘ dengan sempurna.
Adegan-adegan dalam ilustrasi di atas sangat sering kita lihat di sebuah film yang mengangkat tema mistis atau horor. Entah itu di layar kaca, atau di layar lebar gedung bioskop. Sebuah adegan film ataupun sinetron, secara tidak sadar kerap menjadi doktrin dalam kehidupan nyata. Bahkan, seringkali adegan itu mampu menghipnotis dan mempengaruhi sikap kita dalam keseharian.
Perselingkuhan, konflik keluarga, konflik sosial, kenakalan remaja, adegan penyimpangan, kekerasan, konflik cinta, sampai adegan horor adalah tema-tema laris manis sepanjang masa.
Kita sering kali disuguhi adegan drama yang penuh intrik dan berputar-putar alurnya. Sinetron yang sedang hits di televisi, selalu dinanti penggemarnya bahkan hingga ratusan episode. Penokohan antagonis dan protagonis begitu tajam dipertentangkan, sehingga mampu mengaduk-aduk emosi penggemarnya. Dan realitasnya, tema tontonan yang menjual hal berbau ‘hedonis‘, romantisme cinta, mistis horor dan semacamnya selalu mendapat segmen dan rating penonton yang tinggi.
Seperti yang saya ilustrasikan di paragraf awal. Bagaimana peran kemenyan menjadi salah satu hal yang pokok dalam mendukung adegan mistis. Bau dan asap kemenyan selalu hadir menemani sosok tokoh sang dukun dalam pengucapan mantra ‘jampi-jampi’. Hal ini seakan menjadi pakem adegan film yang menjual komoditas hantu, setan, dukun, santet dan sejenisnya. Secara tidak sadar, doktrin keliru tentang kemenyan ini begitu membekas, dan menciptakan stigma negatif tentang fungsi dupa dan kemenyan.
Padahal, sebetulnya tidak seperti itu. Tulisan ini, sedikit akan mengulas tentang sejarah dan peran kemenyan dilihat dari sisi yang lain. Dan ternyata, kemenyan mempunyai banyak fungsi, baik untuk spritual, kejiwaan, kesehatan, atau bahan campuran makanan.
Bagi yang mempercayainya, kemenyan atau dupa atau hio memiliki peran sangat penting untuk sebuah peribadahan. Sebagai salah satu sarana dalam membantu menggapai ‘romantisme‘ spiritual terhadap Sang Pencipta. Kemenyan dan dupa atau wangi-wangian memang kerap hadir bersama sesaji di upacara adat atau ritual acara kebudayaan lokal. Bahkan, akhir akhir ini mulai ada kecenderungan orang modern mulai menggunakan kemenyan dan dupa difungsikan untuk pengharum ruangan. Aroma wewangian digunakan untuk membantu mengurangi stres, dan membuat kejiwaan jadi rileks. Misalnya dupa aroma ‘dharsan‘ seringkali menyebabkan ngantuk orang yang menghirup harum asapnya.
Nilai yang terkandung di dalam pembakaran kemenyan
Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol dengan Mbah Rubingan, seorang sepuh dari Dusun Trimulyo 2, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Yang saya tahu, beliau adalah ‘sesepuh‘ kesenian Reog yang masih memegang nilai-nilai luhur ilmu warisan nenek moyang. Karena penasaran, saya kemudian bertanya tentang filosofi penggunaan menyan dan dupa dalam ritual adat Jawa. Pertanyaan ringan saya lontarkan untuk memantik beliau agar mau bercerita dan memberi ‘wejangan‘.
“Mbah, menyan niku fungsine napa ta?” (Mbah, menyan itu fungsinya untuk apa?), saya mendekat dengan penuh rasa ingin tahu.
“Menyan kui kanggo utusan”
(menyan itu untuk utusan) kata Mbah Rubingan.
Perkataannya terputus saat ia menyulut rokok kretek di tangannya yang sempat mati.
“Jadi, menyan itu mempunyai banyak nama, diantaranya ‘glinggang jati’, ‘klika jati’ atau ada juga yang menyebutnya ‘sekar kutuk’ (bunga yang dibakar). Kemenyan dibakar hanya pada waktu dibutuhkan, misalnya saat ikrar upacara adat, berziarah di makam atau petilasan,”
“‘Glinggang’ itu maknanya kayu, ‘klika’ juga bermakna sama. Sebab kemenyan itu terbuat dari getah pohon. Kata Jati sendiri mempunyai makna sejati dan murni. Maka makna menyan itu getah kayu yang murni, untuk menghaturkan doa doa yang murni” terang Mbah Rubingan panjang lebar.
Mbah Rubingan melanjutkan penjelasannya lagi, menurut pengetahuannya, kemenyan adalah sebagai sarana dan lantaran kita berdoa kepada Tuhan sekaligus mendoakan saudara-saudara kita. Dari penjelasan awal ini, saya mulai memahami, bahwa ternyata selama ini, hal yang dianggap tabu dan negatif tentang kemenyan sangat berbanding terbalik. Kemenyan ternyata memiliki banyak nilai dan makna yang luhur. Mbah Rubingan kemudian mencontohkan doa atau disebut ‘rapalan‘ saat membakar menyan.
“Niat ingsun ngobong menyan,
Klika jati araning menyan,
Glinggang jati araning menyan,
Krengges jati araning menyan,
Kinarya lantaran manembah ngarsaning Allah,
Mugi sedaya berkah sumrambah sagung tumitah, amin,”
Dalam terjemahan bebas, ‘mantra‘ itu dapat diartikan bahwa niat membakar dupa atau kemenyan itu untuk mengiringi ibadah menyembah Tuhan. Sekaligus memanjatkan doa kebaikan bagi diri sendiri serta semua makhluk agar mendapat berkahNya. Dapat dilihat di sini, bahwa ternyata, bagi orang Jawa, kemenyan mempunyai fungsi yang penting sebagai salah satu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Sarana berdo’a, meminta berkah baik dariNya, bukan hanya untuk pribadi, tapi juga mendoakan kebaikan bagi semuanya.
Membakar kemenyan adalah tradisi kuno yang masih bisa ditemui sampai saat ini. Dikutip dari Wikipedia tradisi membakar menyan telah menjadi bagian penting dalam melaksanakan ritual diseluruh dunia. Kemenyan adalah salah satu ‘ukupan‘ yang disucikan (HaKetoret). Dijelaskan dalam Alkitab Ibrani dan Talmud dan digunakan dalam upacara Ketoret.
Kemenyan bagi orang Yahudi, serta orang-orang Yunani dan Romawi, juga disebut Olibanum (dari bahasa Arab, Al-Lubbān). Kemenyan diberikan pada dupa altar khusus di saat ‘Kemah Suci‘ terletak di kuil Pertama dan Kedua di Yerusalem. Ketoret adalah komponen penting dari layanan ‘Bait Allah‘ di Yerusalem. Hal ini disebutkan dalam buku Alkitab Ibrani keluaran 30:34, di mana ia bernama Levonah (Lebona dalam Alkitab bahasa Ibrani), yang berarti putih. Ada jenis kemenyan khusus yang murni yaitu ‘lebhonah zakkah‘, dan disajikan dengan roti sajian.
Membakar dupa juga diterima sebagai praktik dalam gereja Katolik Roma. Sementara gereja awal selama zaman Romawi melarang penggunaan dupa, sehingga jasa di bidang perdagangan dupa mengakibatkan penurunan sangat cepat.
Kemenyan diperkenalkan kembali ke Eropa oleh Tentara Salib yang dinamakan Frankish, meskipun nama Frankish mengacu pada kualitas, tetapi bukan dengan para Frank itu sendiri. Meskipun lebih dikenal sebagai “kemenyan” bagi orang Barat, getah ini juga dikenal sebagai Olibanum, dalam bahasa Arab al-Luban (kira-kira diterjemahkan: yang dihasilkan dari pemerahan). Acuannya adalah getah susu yang disadap dari pohon Boswellia. Beberapa orang juga mendalilkan bahwa nama ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu Minyak Lebanon. Kota yang hilang dari kota Ubar. Kadang-kadang dikenali dengan Irem di tempat yang sekarang disebut kota Shisr di Oman. Diyakini bahwa kota ini telah menjadi pusat perdagangan kemenyan. Baru-baru ini ditemukan kembali ‘Jalan Kemenyan’. Ubar ditemukan kembali pada awal 1990-an dan sekarang di bawah penggalian arkeologi.
Kemenyan telah diperdagangkan di Semenanjung Arab dan Afrika Utara selama lebih dari 5.000 tahun. Sebuah mural yang menggambarkan karung kemenyan diperdagangkan dari Tanah Punt, menghiasi dinding kuil Mesir kuno Ratu Hatshepsut, yang meninggal sekitar tahun 1458 SM. Cina dan India sejak abad pertama telah membawa kapur barus dan kemenyan dari Tapanuli. Kegunaannya adalah untuk bahan pengawet mummi para raja di Romawi dan Fira’un di Mesir.
Disebutkan pada masa itu hingga beberapa abad kemudian, Kemenyan dan Kapur Barus asal Tapanuli ini tergolong barang mahal yang nilainya lebih tinggi daripada emas.
Di tanah Arab, kemenyan pada zaman Nabi dan Salafush Shaleh juga menjadi bagian dari beberapa ritual umat Islam. Nabi Muhammad dan para sahabat sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik yang berasal dari minyak wangi hingga kemenyan, sebagaimana disebutkan di dalam berbagai hadits.
Dupa ‘sang pleter putih‘ utusan kepada Sang Pencipta
Untuk fungsi dupa atau kemenyan dalam ritual adat dan budaya Jawa, saya contohkan dalam suatu fragmen pagelaran Wayang Kulit Purwa. Dimana dalam adegan itu, sang raja telah usai melaksanakan ‘pisowanan agung‘. Keadaan dan permasalahan kerajaan telah beliau dengar dari semua punggawa kerajaan. Sabda Raja telah terucap, semua punggawa kerajaan tunduk dan patuh, siap menjalankan tugas.
‘Bendhe beri‘ berbunyi menandakan sang raja segera ‘kundur kedhaton’ atau pulang kembali ke dalam kraton.
‘Sanggar pamelengan‘ atau tempat ibadah menjadi tujuan langkah kaki sang raja. Melangkah dengan pasti memasuki ruang ‘pamujan‘, maksut hati sang raja adalah mendoakan para punggawanya agar selamat dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Tentu tidak lupa doa untuk kerajaan beserta seluruh rakyatnya agar selalu diberi murah sandang, murah pangan, dan memiliki tempat tinggal yang layak.
Adegan dalam ‘sanggar pamelengan‘ ini tidak tergambar dengan adegan wayang kulit yang berdialog. Namun adegan ini tergambar dengan narasi cerita yang diucapkan Ki Dhalang. Istilahnya adalah ‘Kandha Carita’, atau menceritakan peristiwa yang sedang terjadi. Setelah ‘Kandha Carita’ usai, Ki Dhalang menyelesaikan cerita peribadahan sang raja dengan ‘suluk‘. ‘Suluk‘ adalah nyanyian yang memiliki isi tentang penggambaran adegan yang sedang berlangsung atau adegan yang akan terjadi setelahnya. Pemakaian suluk atau ‘tembang‘ bergantung dari wilayah jangkauan nada pada saat itu.
Adegan ‘sanggar pamujan‘ biasanya terjadi saat wilayah nadanya berada di ‘patet enem‘, waktunya masih sekitar jam sebelas malam. Nyanyian Ki Dhalang yang dipakai untuk menggambarkan adegan pamujan adalah ‘Ada-ada girisa patet nem’.
“Kukusing dupa kumêlun ,
ngêningkên tyas sang apêkik ,
kawêngku sagung jajahan ,
nanging sangêt angikibi ,
sang Rêsi Kanèkaputra ,
kang anjlog saking wiyati,”
Terjemahan bebas dari ‘suluk ada-ada kinanthi’ ini adalah:
“Asap dupa bergulung perlahan membumbung.
Sang ksatria rupawan bersemedi (mengheningkan cipta dan rasa),
seluruh wilayah dalam rengkuhan,
namun sangatlah tidak sewajarnya,
Sang Resi Kanekaputra (Bathara Narada),
yang tiba-tiba turun dari langit.”
Adegan di atas menjadi gambaran bahwa dupa menjadi perangkat penting untuk memulai berdoa. Harum aroma asap dupa yang terbakar terhirup oleh indra pencium, membawa pikiran rileks dan santai. Maka akan mempengaruhi orang yang sedang berdoa menjadi lebih khusuk. Banyak pula orang-orang yang membakar dupa, sebagai pengharum saat bermeditasi. Tentu tujuannya agar pikiran lebih fokus menuju kepadaNya.
Kini di era milennial dupa didaulat sebagai aromatherapy. Aromatherapy adalah terapi menggunakan ‘essensial oil‘ atau sari minyak murni. Zat ini berfungsi untuk membantu memperbaiki kesehatan, membangkitkan semangat, gairah, menyegarkan serta meningkatkan aura positif kejiwaan dan proses penyembuhan.
Dikutip dari yanartha.wordpress.com, asal muasal dupa diperkirakan dari kebiasaan umat Hindu dan Budha di India dan China. Seiring dengan imigrasi ke Asia Tenggara, terutama ke Indonesia, berpengaruh pada agama sebagian besar penduduk di Indonesia. Kerajaan Hindu Majapahit yang berkuasa mempunyai pengaruh besar di daerah Jawa dan Bali.
Sedangkan kutipan dari medcom.id tertulis, bahwa awalnya dupa merupakan persembahan negara barat kepada dinasti Tiongkok. Zaman dahulu dupa digunakan sebagai alat untuk mengobati penyakit, tradisi membakar dupa untuk menyembah dewa dan leluhur bermula dari Kekaisaran Dinasti Han. Di negara timur tengah dupa disebut dengan nama ‘bukhur‘, berwujud bubuk yang dibakar diatas tungku yang terbuat dari porselin keramik.
Di Jawa, dupa sering digunakan untuk memulai ritual upacara adat. Berikut contoh rapal atau doa dalam membakar dupa.
“Niat ingsun ngobong dupa,
Kukuse ngambar suwarga,
Sang pleter putih kukusing dupa,
Sira ingsun kongkon sowan ngarsaning Pangeran,
Ingsun arsa …..(disebutkan maksud dan tujuan membakar dupa).”
Dupa dan kemenyan adalah perangkat murni dan suci untuk mulai memanjatkan doa permohonan baik kepada sang Pencipta. Sudah semestinya kita memahami dan menjaga esensi dari makna itu, sehingga pemahaman yang tidak pada tempatnya dapat kita hindari.