GUNUNGKIDUL (Sejarah, rebowagen.com)— Pagi mulai beranjak siang, bulan Mei yang biasanya sudah memasuki musim ‘marengan‘ atau peralihan dari penghujan ke kemarau tampaknya tidak berlaku untuk tahun 2022 ini. Matahari pagi ini masih tampak malu malu bersembunyi di balik mendung yang menggelayuti langit. Hujan memang masih sering mengguyur wilayah Gunungkidul di bulan ke empat ini. Serangga Garengpung (tenggoret) yang dijadikan tanda alam dalam ‘Pranata Mangsa‘ (kalender musim) Jawa tentang tibanya musim ‘mareng‘, saat ini saya rasakan suaranya agak fals ditelinga. Sang ‘Garengpung‘ kayaknya ragu ragu juga, saat keadaan cuaca sekarang ini tidak bisa lagi diprediksi.
Teriring gerimis, pagi ini saya melakukan perjalanan ke ujung barat wilayah Gunungkidul, tepatnya di Padukuhan Gedad, Kalurahan Banyusoca, Kapanewon Playen. Wilayah ini memang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul. Sepanjang perjalanan, hutan jati milik kehutanan dan lahan pertanian warga berselang seling menjadi pemandangan khas wilayah Gunungkidul. Setelah melintasi jembatan Nggora, sepeda motor Honda Win pelan-pelan mulai kupacu menaiki kontur jalan naik turun dan berkelok, hingga akhirnya saya sampai di halaman pondok pesantren Nurul Fallah. Pondok pesantren ini adalah peninggalan mbah Abu, yang saat ini dikelola oleh Kyai Hudi Rohmad, putra kedua dari mbah Abu.
“Almarhum bapak memulai penggalian bukit Grunggung sekitar tahun 1976, waktu itu saya masih ingat betul, karena saat air benar benar bisa keluar dari dalam bukit, saya yang diajak bapak kesana pertama kali untuk dimandikan,” kata Kyai Rohmad membuka obrolan kami, setelah sebelumnya ‘kulo nuwun‘ dan berbasa-basi sejenak, tentang maksud kedatangan saya.
Kyai Hudi Rohmad berpenampilan sangat sederhana, tanpa sorban atau gamis putih panjang, Ia hanya mengenakan kaos oblong berwarna biru dengan sarung yang sudah tampak luntur motifnya. Beliau adalah anak ke-2 mbah Abu, saat ini sebagai pengasuh pondok pesantren, Nurul Fallah peninggalan bapaknya.
“Waktu itu saya masih berusia sekitar 3 tahun, tapi setelahnya, almarhum banyak bercerita ke saya tentang kisahnya menggali bukit Grunggung,” lanjutnya.
Kyai muda murah senyum, yang sempat akan diangkat PNS, tapi tidak mau karena lebih memilih mematuhi pesan almarhum bapaknya untuk mengasuh pondok ini kemudian banyak bercerita tentang perjuangan mbah Abu. Bagaimana waktu pertama kali mbah Abu memulai penggalian bukit Grunggung hanya ditemani oleh pakliknya yaitu mbah Muhammad Banjari.
“Cerita bapak, daerah ini dulunya sangat gersang, terpencil, air sulit, sehingga banyak penduduk yang memilih merantau ke luar Jawa,” lanjut Kyai Rohmad.
Sambil mempersilahkan minum yang telah dihidangkan, Kyai Rohmad meneruskan ceritanya.
“Tempat yang digali Bapak dulunya bernama luweng Cing Cing Giling, sebuah luweng kecil di atas bukit Grunggung, tempat ini terkenal “wingit”, angker, jarang sekali penduduk berani memasuki kawasan luweng Cing Cing Giling,”
lanjutnya.
Bukit Grunggung
Bukit Grunggung adalah sebuah bukit batu cadas yang keras. Di atasnya hanya tumbuh perdu, semak dan rumput di antara tonjolan batu batu. Ada beberapa pohon kayu keras agak besar memang, tapi tampak tidak subur karena tipisnya lapisan tanah bukit Grunggung. Luweng Cing Cing Giling terletak persis dipuncak bukit Grunggung. Menurut cerita Kyai Rohmad yang dia terima dari almarhum mbah Abu, mulut luweng ini awalnya hanya berupa lubang kecil, tapi jika didengarkan dengan seksama akan terdengar suara air yang mengalir. Suara ini berasal dari dalam perut bukit Grunggung.
“Awalnya, bapak mencoba mengikat sebuah batu kecil dengan tali, kemudian mengulurkannya ke dalam lubang luweng, setelah diangkat keatas, batu dan tali ternyata basah, saat itu bapak yakin, kalau didalam bukit itu ada sumber air yang besar,” Kyai Rohmad melanjutkan ceritanya.
Dari percobaan sederhana itu, mbah Abu kemudian mempunyai pemikiran bahwa jika air ini bisa dimanfaatkan, tentu akan bisa merubah taraf hidup masyarakat Gedad dan sekitarnya. Dan pada akhirnya mbah Abu kemudian bertekad untuk mencari solusi masalah air di desanya dengan menggali luweng Cing Cing Giling.
“Bapak kemudian “sowan” ke gurunya yaitu mbah Kyai Mardjuki, Giriloyo. Oleh mbah Kyai Mardjuki, bapak akhirnya diperintahkan untuk “laku prihatin”, “tirakat” dan memulai upaya mencari sumber air, yang nanti hasilnya bisa untuk kemakmuran masyarakat umum,”
lanjut Kyai Rohmad.
Mbah Abu memang menjadi salah satu santri dari seorang kyai legendaris dari Giriloyo, Bantul, yakni Kyai Haji Ahmad Mardjuki. Kyai Ahmad Mardjuki memang terkenal banyak berdakwah di wilayah Gunungkidul. Setelah mendapat restu dan bimbingan gurunya, mbah Abu kemudian benar benar memulai penggalian luweng, dengan hanya dibantu oleh mbah Banjari.
“Hampir setiap hari selama kurun waktu 4 bulan, mereka bekerja keras. Bahkan pekerjaan ini sering dilakukan pada malam hari,” lanjut Kyai Rohmad sambil mengenang almarhum mbah Abu.
Dalam waktu 4 Bulan ini, lanjut Kyai Rohmad, bapak bercerita tentang beratnya perjuangan yang harus dihadapi, mulai dari gangguan makhluk halus, sampai pada kerasnya batu yang harus mereka pecah. Alat yang dipakai waktu itu benar benar masih manual, linggis, cangkul, palu, bodem, betel dan lainnya. Tak terhitung berapa banyak alat yang dihabiskan untuk proses penggalian, struktur batu yang dihadapi adalah batu gunung yang solid dan sangat keras.
“Setelah 4 bulan lebih, dan kedalaman penggalian sedalam kurang lebih 7 meter, akhirnya sumber air itu dapat ditemukan, dan benar dugaan bapak, bahwa sumber air itu adalah jalur sungai bawah tanah yang mempunyai debit air yang besar,”
Sumber Air
Namun, setelah benar benar menemukan sumber air, mbah Abu akhirnya bingung, bagaimana cara air ini bisa diangkat dan dialirkan ke rumah rumah penduduk, sedangkan pada tahun tahun itu tekhnologi pengangkatan air masih sangat jarang, seumpama ada pompa, disaat itu listrik juga belum menjangkau Desa Banyusoca.
Saat itu, mbah Abu sadar bahwa tugasnya ternyata masih belum selesai, dia harus berusaha lagi mencari jalan agar air ini bisa dialirkan ke bawah. Mbah Abu berpikir keras lagi, satu satunya jalan ia harus membuat jalan air yang bisa mengalirkan air keluar dari perut bukit yang nantinya bisa mengalir menuju ke bawah.
Kepalang tanggung, mbah Abu kembali bekerja, kali ini penggalian dia lakukan dari samping lambung bukit, harapannya dengan dia membuat “kalenan“(parit/terowongan) secara horizontal yang menembus aliran sungai bawah tanah, air bisa mengalir keluar dan dialirkan ke desanya. Akan tetapi ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Hampir sama dengan pekerjaan pertama, kerasnya batu yang harus dipecah menjadi kendala utama, dan resiko batu longsor juga sangat mungkin terjadi, karena pekerjaaan kali ini adalah membuat sebuah terowongan.
Pekerjaan peggalian terowongan ini juga tidak main main, karena harus menembus lambung bukit, dan menurut perhitungan mbah Abu jaraknya bisa sampai puluhan meter. Namun begitu, meski tantangan yang akan dihadapi sangat besar, mbah Abu sudah bertekad bulat, pekerjaan ini harus bisa diselesaikan, sehingga tujuan awal bisa tercapai. Ia kemudian memulai pekerjaan besar yang kedua, yakni menggali terowongan untuk bisa menembus jalur sungai bawah tanah.
Pertolongan hadir disaat yang tepat, kabar mbah Abu berhasil menemukan sumber air segera beredar di seluruh desa. Dan pada akhirnya banyak yang menyadari bahwa apa yang dikerjakan mbah Abu nantinya bisa dimanfaatkan untuk seluruh warga.
“Akhirnya satu dua orang mulai ada yang membantu bapak menggali terowongan, dan hari demi hari semakin banyak yang ikut membantu sehingga penggalian terowongan bisa lebih cepat diselesaikan. Setelah berbulan bulan bekerja dengan dibantu banyak warga, akhirnya terowongan sepanjang kurang lebih 30 meter berhasil menembus jalur sungai bawah tanah bukit Grunggung,”
lanjut Kyai Rohmad.
Pekerjaan yang hampir mustahil dilakukan dengan alat seadanya ini akhirnya berhasil. Saat terowongan tersambung dengan aliran sungai bawah tanah, saat itulah air bisa keluar mengalir dari perut bukit Grunggung.
Namun, keberhasilan ini tak bertahan lama, saat itu datanglah sebuah cobaan tak diduga, dinding sungai bawah tanah tiba tiba ambrol, batu batu menutup aliran sungai, sehingga aliran air yang keluar lewat terowongan menjadi macet. Saat itulah kesabaran dan ketabahan mbah Abu kembali diuji, mau tidak mau ia harus menyingkirkan batu batu ini, dan sekarang keadaan menjadi lebih sulit karena batu batu ini sudah terendam air.
“Akhirnya bapak harus menyingkirkan batu batu ini sambil menyelam. Percaya gak percaya mas, batu yang dikumpulkan bapak sambil menyelam itu, saat dikumpulkan ada 12 kubik,” ujar kyai Rohmad sambil tertegun, seakan dia sendiri sulit mempercayai apa yang telah dilakukan oleh bapaknya.
Setelah perjuangan luar biasa yang dilakukan, akhirnya usaha mbah Abu menuai hasil, air dengan lancar keluar dari dalam bukit Grunggung, dan melewati “kalenan” (terowongan jalan air) kemudian turun ke bawah, dan langsung bisa digunakan oleh penduduk.
“Bapak kemudian menamakan saya sumber air ini, Gunung Sari Bumi,”
terang Kyai Rohmad.
Mbencah Gunung
Keberhasilan Mbah Abu Dardak ‘mbencah gunung‘ ini akhirnya membawa manfaat yang luar biasa bagi warga masyarakat. Air bisa dialirkan ke bawah, sehingga warga bisa bertani dan bahkan bisa membuat kolam kolam ikan. Banyak warga yang akhirnya bertahan dan mempunyai usaha di Padukuhan Gedad tanpa harus mereka merantau keluar daerah. Pondok pesantren Nurul Fallah yang didirikan mbah Abu untuk mengajar ilmu agama akhirnya juga bertambah ramai santri santrinya. Santri santri ini tidak hanya dari padukuhan Gedad, tapi juga banyak yang berasal dari luar Kalurahan Banyusoca. Dalam perkembangannya, sumber air Gunung Sari Bumi ini juga digunakan oleh warga 3 dusun lain yang terletak jauh dibawah, mereka mengalirkan air dengan pralon pralon.
“Bapak meninggal tahun 2005, atas permintaannya, beliau dimakamkan di tengah tengah kompleks pondok pesantren ini,” kata Kyai Rohmad, mata kyai muda itu tampak sedikit berkaca kaca saat mengucapkan kalimat ini, mungkin ia teringat perjuangan dan sejarah dari mbah Abu.
Dari masjid di kompleks pondok, seorang santri terdengar melantunkan adzan Dhuhur. Tak terasa saking asiknya ngobrol waktu sudah tengah hari. Kyai Rohmad kemudian pamit untuk menjadi imam shalat bagi santri-santrinya. Ia juga mengajak saya ikut Sholat setelah sempat menanyakan agama yang saya anut.
“Mari Shalat dulu, nanti cerita bisa kita lanjutkan kembali,” ajaknya.
Setelah ikut berjamaah shalat Dhuhur bersama beberapa santri, saya kemudian diajak masuk ‘ndalem‘ (sebuah sebutan bagi rumah yang ditinggali sang kyai dan keluarganya di lingkungan pondok). Saat saya masuk, di meja tampak telah tersaji makan siang, dengan ramah Kyai Rohmad mengajak saya untuk makan. Terus terang ada perasaan rikuh dan malu, namun dengan keramahan Kyai Rohmad akhirnya melunturkan rasa rikuh dan malu saya.
“Mari makan seadanya, setiap orang kan mencari rejeki, dan ini adalah rejeki yang tidak boleh ditolak,” ujarnya sambil tersenyum.
Sambil makan, sesekali kami masih menyambung cerita mbah Abu. Kyai Rohmad mengenang almarhum mbah Abu sebagai seseorang yang mempunyai sifat keras dan teguh dalam pendirian, apalagi soal mempertahankan prinsip yang dia yakini.
“Almarhum bapak itu sifatnya kadang bisa sekeras besi, tapi juga kadang bisa sangat halus, selembut air,” kata Kyai Rohmad.
“Sebelum meninggal, almarhum bapak berwasiat, bahwa sumber air Gunung Sari Bumi tidak boleh dikomersilkan, siapapun boleh menggunakan tanpa membayar, namun penggunaannya harus untuk kemaslahatan umat,”
imbuhnya lagi.
Sebelum berpamitan saya menyempatkan diri untuk ziarah di makam mbah Abu. Makam mbah Abu tanpa nisan, diatas makam dibangun sebuah ‘cungkup‘ (bangunan yang berada pada area makam) berbahan kayu jati kuno. Uniknya disitu diletakkan sebuah cermin besar, siapapun yang berziarah akan bisa melihat dirinya sendiri dalam bayangan cermin itu.
“Nanti kalau mau kesana biar diantar anak saya,” pungkas Kyai Rohmad mengakhiri obrolan kami.
Kegigihan
Dengan diantar Gus Toriq, salah satu putra Kyai Rohmad, saya berpamitan untuk kemudian mendaki bukit Grunggung, melihat hasil perjuangan mbah Abu Dardak 45 tahun yang lalu. Puluhan pralon air tampak berbaris keluar dari mulut terowongan di punggung bukit. yang berbaris menuruni punggung bukit.
Melihat bukit Grunggung dari dekat yang terbentuk dari batu cadas yang utuh, saya tidak dapat membayangkan, betapa keras perjuangan, tekad dan kegigihan mbah Abu dalam usahanya mencari sumber air untuk bisa digunakan warga masyarakat di desanya.
“Mas, saya turun dulu” kata Gus Toriq, agak geragapan saya menyampaikan ucapan terima kasih pada Gus Toriq yang telah mengantar naik. Saya betul betul terlarut dalam imajinasi masa lalu, membayangkan bagaimana seseorang yang mempunyai tekad baja, mengerjakan sesuatu yang setengah mustahil, namun bisa berhasil seperti mbah Abu.
Agak lama saya duduk sendirian di dekat mulut terowongan, di situ dibangun sebuah gazebo kecil untuk beristirahat. Matahari siang itu masih malu malu menampakkan diri. Semilir angin basah yang sejuk karena membawa butiran butiran air hujan membuat saya enggan meninggalkan tempat itu. Saya terlarut dalam sebuah perasaan yang aneh, membayangkan betapa kerasnya tekad mbah Abu dalam sebuah perjuangan Sebuah usaha yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi demi masyarakat banyak.