Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
milu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman milik
kaliren wekasanipun
ndilalah karsa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada
Kearifan lokal(rebowagen.com) — Serat Kalathida adalah salah satu karya pujangga dari Kasunanan Surakarta yakni Raden Ngabehi Ranggawarsita III. Bernama kecil Bagus Burhan, putra Ranggawarsita II ini dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa. Lahir tanggal 14 Maret 1802 dan meninggal di usia 71 tahun. Ranggawarsita banyak menghasilkan karya-karya besar. Serat Wirid, Serat Jayengbaya, Pustaka Raja Purwa, Serat Cemporet, Paramayoga (mitos; Asal usul manusia Jawa) adalah beberapa dari deretan karya karyanya.
Bagi sebagian orang, Ki Ranggawarsita dianggap mempunyai kemampuan meramal masa depan. Meski sebetulnya, jika dicermati secara tersirat karya-karya ini merupakan pemikiran-pemikiran kritis sang pujangga terhadap keadaan sosial dan politik yang terjadi pada masa itu.
Serat Kalatidha adalah sebuah syair bahasa Jawa yang terdiri dari 12 bait. Ditulis sekitar tahun 1860, serat ini berisi ajaran hidup atau falsafah dari sang seniman. Melansir dari sebuah artikel Kompasiana yang berjudul “Inilah Zaman Edan, Menelisik Serat Kalatidha Ranggawarsita” ditulis bahwa arti kata ‘Kala’ adalah ‘zaman dan ‘tidha’ adalah ‘ragu’. Kalatidha diartikan sebagai sebuah zaman yang penuh keraguan.
Banyak yang menafsirkan bahwa di karya ini sang pujangga sedang menggambarkan sebuah keadaan ‘zaman edan’. Mengacu makna pada bait ke tujuh yang sangat popular dan sering dikutip banyak orang, meski teksnya kadang ditulis tidak lengkap.
“Amenangi zaman edan; Melu ngedan nora tahan; Yen tan melu anglakoni boya keduman; Begja-begjaning kang edan; Luwih begja wong kang eling klawan waspada” (Berada dalam zaman edan; Kalau ikut edan tidak akan tahan; Kalau tidak mengikuti edan tidak kebagian; Sebahagia-bahagianya orang yang edan; akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Mbah Arjo Pono
Tak ada hubungannya memang, antara Ki Ranggawarsita dan Mbah Arjo Pono. Simbah ‘sepuh’ ini adalah pensiunan guru yang menjadi ‘Juru kunci’ sumber air yang sering disebut Kali Kidul. Sebuah sumber air yang terletak di Padukuhan Klepu, Kalurahan Giriasih, Kapanewon Purwosari, Gunungkidul.
Mungkin sebuah kebetulan alam, saat kami istirahat setelah menanam pohon di Kali Kidul, Mbah Arjo ‘rengeng-rengeng’ (nembang) Sinom Serat Kalatidha. Suaranya yang sudah ‘groyok’ (serak) tiba-tiba menelusup relung batin saya. Menjadi semacam magnet yang akhirnya membuat saya terdiam dan mendekat. Teman-teman Resan Gunungkidul yang telah selesai menanam pohon, satu persatu juga mulai mendekat dan duduk mengelilingi Mbah Arjo.
Kidung yang dilantunkan Mbah Arjo diiringi suara angin yang menggesek daun. Ditingkahi suara burung Gagak yang bertengger tinggi di atas pohon Resan Bunut, Kepuh dan Gentungan yang menjulang meraksasa.
Lamat-lamat, suara ‘breaker’ dari mesin ‘Backhoe’ yang sedang membongkar batuan bukit juga menjadi salah satu pengiring kidung Mbah Arjo. Ritme suara yang ditimbulkan oleh baja keras ‘breaker’ saat menghancurkan batu menghasilkan nada sangat khas. Suaranya meninggi dan merendah terbawa oleh angin. Kadang berkumandang, kadang seperti menjauh. Ada pikiran aneh menyelinap. Tembang kidung, suara-suara alam dan bunyi dari mesin modern yang bercampur. membawa alam pikiran bawah sadar saya menjadi tidak jelas lagi warnanya.
Lokasi sumber air Kali Kidul berada di sebuah cekungan bukit yang berbentuk seperti kawah. Di tengah-tengahnya ada semacam lubang seperti gua kecil. Di situlah tempat air keluar. Oleh masyarakat air disedot menggunakan mesin diesel yang terletak agak ke atas, kemudian dialirkan ke Dusun Klepu.
Dari cerita Mbah Arjo, Kali Kidul ditemukan sejak zaman Majapahit, oleh seorang tokoh bernama Mbah Tegal Sempu. Tokoh ini juga dipercaya sebagai cikal bakal wilayah. Mbah Arjo Pono adalah generasi ke tiga sebagai Juru kunci Kali Kidul, meneruskan tugas bapak dan kakeknya.
Setahun sekali, memgambil hari Rabu Pon masyarakat Padukuhan Klepu mengadakan acara Besik Kali Kidul. ‘Ubarampe’ yang dibawa saat ritual upacara berupa segala hasil bumi para petani.
“Jaman riyin, warga ngangsu toya mriki ngangge pikulan. Nek sakniki pun kepenak pun dibantu mesin disel (zaman dulu, warga mengambil air disini memakai pikulan. Kalau sekarang sudah enak, memakai mesin diesel),”
cerita Mbah Arjo.
Sejenak Mbah Arjo membetulkan letak duduknya. Ia mengambil nafas untuk kemudian melanjutkan menembang. Kami semakin terhanyut, suara serak itu seakan tiada nada fals sampai ke telinga.
“Sak menika zaman edan sampun kedadosan, mila kita sedaya kedah luwih ngatos-atos. Kedah saget meper hawa nepsu (sekarang ini, zaman edan sudah terjadi, kita semua supaya lebih hati-hati. Harus bisa menahan hawa nafsu),”
tutur Mbah Pono.
Dengan pemahamannya, Mbah Arjo kemudian menterjemahkan bait per bait dari Serat Kalatidha. Kendati sudah sangat ‘sepuh’, bekas-bekas profesinya sebagai seorang pengajar masih tampak nyata. Intonasi kata-kata yang diucapkannya rapi dan teratur, mengalir pelan dan menjadi mudah untuk dipahami.
“Goda ing zaman edan menika estu mingini. Sedaya sarwi endah lan nyengsemaken. Sinten mawon ingkang lena nggih saget ketut lajeng lali (godaan di zaman edan ini sangat menggiurkan. Semua serba indah dan menarik hati. Siapa saja yang lengah bisa ikut kemudian lupa),” lanjut Mbah Arjo sambil menyulut rokok kreteknya.
Di zaman edan, menurut Mbah Arjo kesenjangan antara yang miskin dan kaya semakin kentara. Orang-orang kaya akan semakin mudah mendapatkan kesempatan sehingga semakin bertambah kaya. Sementara yang miskin akan semakin sulit dan terjepit sehingga kehidupannya tambah susah. Suap dan korupsi meraja-lela. Kehormatan seseorang dinilai dari harta dan pangkat yang ia miliki.
Tiba-tiba suara breaker backhoe terdengar lebih nyaring, mungkin sang breaker menghantam batu yang sangat keras. Suara ini sempat menghentikan sejenak Mbah Arjo yang sedang bercerita.
“Tiyang sugih tambah sugih, ingkang mlarat tambah kesrakat. Bandha dunya dados ukuran, tiyang luhur budi pekerti, menawi mlarat nggih namung dados enyek-enyekan (orang kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Harta benda menjadi ukuran, orang berpengetahuan dan luhur budi pekerti jika miskin tetap jadi bahan ejekan),” Mbah Arjo melanjutkan.
Arus zaman edan ini menurut Mbah Arjo sangat kuat, banyak orang akhirnya ikut dan tergoda. ‘Yen tan melu edan boya keduman’ bait ini diartikan oleh Mbah Arjo sebagai sebuah godaan, dimana ketika orang tidak ikut ‘ngedan’ maka dia tidak akan kebagian jatah. Maka yang kemudian terjadi orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Moral tidak lagi diperhatikan sehingga gampang sekali harga diri seseorang tergadaikan.
Suasana teduh di Kali Kidul semakin temaram. Rupanya mendung sedang berarak di langit dan menutupi matahari. Asap dupa masih mengepul tipis terhembus angin dan hilang entah kemana. Resan pohon Gentungan raksasa yang baru saja di ‘langse’ berdiri kokoh, diam seakan ikut mendengarkan perbincangan kami.
“Nanging ngawuningana, sak beja-bejaning wong edan, isih beja wong kang eling klawan waspada (namun harus diketahui, seberuntungnya orang yang edan, masih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada),” kata Mbah Marno mengakhiri bait terakhir.
Seiring rintik hujan yang mulai turun, kami kemudian memutuskan untuk kembali. Serat Kalatidha yang baru saja dijabarkan oleh Mbah Marno terus terngiang di telinga. Saat ini, zaman memang tak lagi ramah. Perubahan-perubahan terus terjadi begitu cepat. Menggerus dan melunturkan nilai-nilai yang telah lama menjadi pondasi dasar perikehidupan masyarakat. Pemahaman-pemahaman baru terus muncul dan ‘mingini lan nyengsemake’ (menggoda dan menggiurkan) mengutip kata-kata Mbah Arjo tadi.
Isi Serat Kalatidha, oleh beberapa pihak dinilai berisi tentang ‘curhatan’ hati. Tentang sebuah keadaan sulit yang sedang dihadapi sang pujangga pada waktu itu. Hal ini terkait hubungan pribadinya dengan pihak Kasunanan Surakarta dan Kompeni Belanda. Namun, terlepas dari itu, isi Serat Kalatidha sangat relevan dengan keadaan yang terjadi saat ini. Zaman edan adalah ‘ramalan’ Ki Ranggwarsita tentang carut-marut keadaan, dan saat ini hal itu memang sedang terjadi.
“Ampun gumunan, wong gumunan bakalan kelangan, kedah terus mawas diri, eling klawan waspada (jangan gampang heran, orang gampang heran akan gampang kehilangan, harus mawas diri, selalu ingat dan waspada),” pesan Mbah Arjo dalam perjalanan pulang.