Pertanian(rebowagen.com)– Aku lahir dan dibesarkan di Padukuhan Pringombo, Kalurahan Natah, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul. Sebuah dusun terpencil di sisi atas Zona Batur Agung Utara. Banyak yang menyebut bahwa tumpah darahku ini adalah ‘Jogja lantai tiga‘. Secara geografis memang ketinggiannya antara 700 hingga 800 meter diatas permukaan laut (mdpl). Aku adalah salah satu generasi ‘kekinian‘ yang sekarang sedang mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Yogya. Namun narasi tentang Pringombo sebagai ruang hidup turun temurun dari orang tua dan simbah-simbah sangat melekat di benakku. Segala cerita mereka menjadikan spirit bagiku untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahiran ini.
Selain sekolah formal, aku selalu membuka diri untuk belajar kepada siapapun, baik perorangan maupun komunitas. Bagiku, mereka adalah sebuah pintu yang menghubungkan ruang kecil yang bernama Pringombo dengan ruang-ruang lain yang lebih luas. Hal ini mampu memberikan cahaya untuk menerangi, membagikan udara yang menyejukkan dan melegakan dahagaku akan ilmu.
Cerita ini berawal saat sebuah komunitas bernama Rebowagen Forum menjadikan Pringombo sebagai tempat pertemuan. Selayaknya arisan namun tanpa iuran, Rebowagen mengagendakan perkumpulan rutin setiap ‘selapan dina‘ (35 hari) sekali dalam hitungan hari pasaran Jawa. Sesuai namanya, pertemuan ini dilaksanakan setiap malam Rebo Wage pasaran Jawa. Pada malam yang sudah ditentukan, maka sejak habis Isya’ mulai berkumpul orang–orang dari berbagai wilayah Gunungkidul. Bahkan, banyak dari mereka yang berasal dari luar daerah. Mereka berasal dari beberapa komunitas atupun datang sebagai personal. Kami duduk melingkar, ngobrol dan diskusi, saling bertukar ‘kawruh‘ (ilmu), hingga ‘sharing‘ tentang banyak hal yang mereka bawa dari daerah masing–masing. Harapannya dengan obrolan–obrolan ini akan menambah keakraban, tambah wawasan, dan yang paling penting menambah ‘paseduluran‘.
Beruntung bagi kami warga Pringombo, bisa ‘ngunduh‘ Rebowagen yang ke–8. Pada kesempatan ini, ada satu momen istimewa, yakni ‘launching‘ media online rebowagen.com. Sebuah media online di Gunungkidul yang berusaha mengarsipkan warisan, nilai-nilai luhur, dan segala hal yang berkaitan dengan Gunungkidul. Tujuan bersama adalah untuk memuliakan bumi Gunungkidul yang Handayani. Sebagaimana slogan Rebowagen adalah “Menjadi Gunungkidul”, yang diharapkan akan memberikan semangat ke-Gunungkidulan kepada seluruh elemen masyarakatnya.
Malam itu kami dipertemukan dengan banyak sekali sedulur baru dari berbagai latar belakang. Salah satunya adalah Mbak Michelle, Obrolan menjadi hangat ketika aku bercerita mengenai ‘ganyong‘. Sejenis umbi–umbian yang pada masa dulu pernah jaya di Pringombo. Dulu, tanaman ‘ganyong‘ ini memang pernah menjadi komoditas penting di Pringombo. Ceritanya hampir setiap kebun warga dapat dengan mudah dijumpai tanaman ini. ‘Ganyong‘ tidak sekedar tanaman liar atau hias, tapi juga menjadi salah satu komoditas pertanian yang penting bagi ekonomi warga Pringombo. Berbagai produk dapat dihasilkan dari tanaman ini, dari tepung ganyong, ‘krecek‘ ganyong, sampai ‘cendhol‘ untuk dhawet ‘ganyong‘. Namun saat ini, keadaan ‘ganyong‘ sangat memprihatinkan, karena diserang berbagai macam penyakit. Hal ini membuat budidaya dan pengolahan ‘ganyong‘ bagi warga Pringombo sekedar menyisakan cerita indah.
Mendengar narasi yang sangat tragis akan tanaman ganyong ini, Mbak Michele yang bekerja di laboratorium pengamatan hama penyakit tanaman di Jogja itu kemudian merespon. Wanita asal Rembang ini kemudian bertanya secara detail mengenai penyakit yang menyerang ‘ganyong‘. Pakde Mardi, warga Pringombo yang lebih paham akan ‘ganyong‘ kemudian menjelaskan permasalahannya.
Singkat cerita, Mbak Michelle menawarkan untuk melakukan identifikasi penyakit yang menyerang tanaman ‘ganyong‘ tersebut di laboratoriumnya. Ia kemudian pulang dengan membawa sampel tanaman ‘ganyong’ yang terserang penyakit. Selang waktu 2 hari, ia memberikan hasil identifikasi dan rekomendasi dari pengamatan yang dilakukan. Dari hasil identifikasi menyebutkan, bahwa ada tiga hal yang menyerang ‘ganyong‘, yakni penyakit karat daun, penyakit busuk umbi, dan hama kumbang penggerek umbi.
Perbanyakan PGPR
Kebaikan Mbak Michele tak sebatas itu. Ia lalu menawarkan sebuah solusi untuk mengatasi hama tersebut. Salah satu solusi adalah menggunakan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Ini adalah sejenis bakteri yang hidup di sekitar perakaran tanaman. Sifatnya adalah ‘bioprotectant‘ yakni bakteri-bakteri baik yang mampu melindungi akar tanaman dari ‘patogen‘ penyebab penyakit.
Akhirnya, kami bersepakat untuk mengagendakan ‘sinau‘ bareng bagaimana membuat instalasi perbanyakan PGPR. Sekaligus dalam agenda itu kami mengundang warga dan pemuda Pringombo untuk belajar bersama.
Dengan tutorial dari Mbak Michele, aku kemudian mulai mempersiapkan perbanyakan PGPR. Dimulai dengan merendam akar bambu dengan air masak yang sudah didinginkan, selama 3 malam. Akar bambu diketahui menyimpan banyak sekali bakteri baik PGPR di bawah perakarannya.
“Selain akar bambu, PGPR banyak terkandung pada akar tumbuhan lain seperti putri malu, alang-alang, atau rumput kalanjana. Akar dari jenis tanaman-tanaman ini juga baik digunakan sebagai biang perbanyakan PGPR” kata Mbak Michelle.
Namun dengan alasan kemudahan mendapatkannya, maka aku putuskan untuk merendam oyot pring (akar bambu). Lagi pula ini sudah sangat sesuai dengan asal nama dusunku yakni Pringombo, bukan putri malu atau alang alang ombo.
Manfaat akar bambu
Paginya, sebelum acara diskusi dan pelatihan, aku diminta untuk merebus ‘leri‘ (air cucian beras) 1 Liter, ditambahkan gula aren 200 gram, dan terasi alami 100 gram. Lalu setelah mendidih kemudian diangkat, setelah cukup dingin ditambahkan sedikit ‘enjet‘ (kapur mati) untuk menstabilkan pH. Ramuan ini sebenarnya adalah asupan makanan untuk bakteri PGPR yang akan diperbanyak, karena bakteri tersebut adalah ‘urip‘ atau hidup.
Lalu, pada hari yang ditentukan, yakni Rabu, 3 Agustus 2022 kami berkumpul bersama warga Pringombo yang semuanya berjumlah sekitar 30 orang. Mbak Michelle membuka agenda siang itu dengan pemaparan hasil pengamatan hama penyakit dari sampel ganyong yang ia bawa ke laboratorium. Rekomendasi penanganannya turut ia jelaskan juga. Setelah itu ia memaparkan tentang apa itu PGPR, mulai dari definisi, manfaatnya, dan cara memperbanyak.
Setelah teori dirasa cukup, dilanjutkan pada sesi praktik pembuatan instalasi perbanyakan PGPR. Pada bagian ini, Mbak Michelle dibantu dua rekannya dari Yogya, yaitu Mas Yatno dan Mas Adi. Rumit instalasinya, maka tugasku hanya memperhatikan saja. Mereka menghubungkan botol-botol air mineral bekas dengan satu galon menggunakan selang. Tutup botol dilubangi dengan bantuan ‘solder‘ untuk memasukkan selang. Lalu dilem memakai lem tembak, supaya rapat dan tidak bocor.
“Instalasi ini adalah tempat memelihara bakteri PGPR, diberi asupan nutrisi dari ‘leri’, terasi, gula, serta udara berasal dari ‘air rotor’. Proses fermentasinya aerob (membutuhkan udara) sehingga udara yang masuk harus steril dan di filter” terang Mbak Michele saat saya bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi.
Ia melanjutkan, selayaknya makhluk hidup lain, bakteri juga butuh makan dan udara untuk dapat hidup dan berkembang biak. Terasi sebagai sumber protein, gula sebagai sumber glukosa, lalu ditambahkan ‘enjet” untuk menstabilkan pH, campuran yang berfungsi sebagai sumber makanan bakteri. Lalu kebutuhan pasokan oksigen diberikan melalui ‘air rotor‘ yang instalasinya dihubungkan dengan selang melalui cairan berwana ungu dan ‘glasswoll‘.
“Cairan ungu itu PK (Permanganat Kalium), biasanya bisa mengobati orang yang terkena cacar air, dengan cara dicampur air mandi. Fungsinya di fermentor itu buat sterilisasi udara yang masuk (biar tidak ada mikroorganisme dari luar seperti jamur). Terus di filter dengan glasswoll nya itu. Jadi dipastikan udara yang masuk ke galon bersih dan steril karena fermentasinya aerob” lanjutnya menjelaskan fungsi cairan ungu dan ‘glasswoll‘.
Setelah instalasi selesai dirakit, maka ‘air rotor‘ dipasang pada sumber listrik. Rangkaian itu dicoba terlebih dahulu untuk memastikan semua jalur berjalan dengan baik, sebelum rendaman akar bambu dan campuran ‘leri‘ dimasukan.
“Yei berhasil“, celetuk Mbak Michelle sambil menampakan tawa dan muka kegirangan.
Selesai dipastikan instalasi tidak bocor, lalu rendaman akar bambu dan campuran ‘leri‘ tadi dimasukan ke dalam galon yang berisi air matang sebanyak 17 liter. Perbanyakan PGPR dengan metode fermentor sederhana ini membutuhkan waktu 14 hari untuk sampai masa panen dan siap diaplikasikan.
Pohon bambu yang penuh manfaat
Selain ‘ganyong‘, pohon bambu bagi masyarakat Pringombo memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Batang bambu mempunyai sifat kuat, ulet, ringan, dan mudah dibentuk. Dulu banyak warga Pringombo yang menjadi pengrajin alat atau perkakas berbahan bambu. Dengan pelatihan membuat PGPR ini, aku kemudian menjadi tahu, ternyata, selain manfaat batangnya, akarnya juga mempunyai banyak fungsi. Sifat perakaran bambu yang mempunyai akar serabut yang sangat kuat, juga mempunyai fungsi sebagai tanaman konservasi, baik tanah maupun air. Karena karakteristiknya, bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air, juga mampu menahan tanah dari ancaman erosi.
Dulu sekitar rumpun pohon bambu di Pringombo sering ditanami dengan tanaman lengkuas, jahe, kunyit, dan rempah-rempah lainnya. Aku baru sadar, bahwa tanah pada sekitar rumpun bambu pada umumnya subur. Jenis tanaman rempah yang tidak banyak membutuhkan sinar matahari juga dapat berkembang dengan baik di bawah naungannya.
Pertemuan dengan Mbak Michelle dan teman-teman komunitas yang lain semakin menambah pengetahuanku akan manfaat bambu. Perakaran bambu memungkinkan mikro organisme dapat berkembang dalam jalinan rantai makanan yang saling ‘bersimbiosis mutualisme‘. Salah satunya adalah mikro organisme baik PGPR, yang telah kami coba perbanyak ini.
Meski saat ini, ‘pring‘ atau rumpun bambu di Pringombo sudah tak sebanyak dulu, namun dengan kembali mempelajari ‘pring‘, aku menemukan sebuah spirit baru. ‘Oyot’ (akar) adalah ‘mula‘ wiwitan‘ (awal), dimana segala sesuatu dimulai. ‘Toponim‘ nama dusunku yakni Pringombo artinya berawal dari kata ‘rumpun bambu yang tumbuh luas‘. Bambu adalah ‘pring‘, ‘awi‘, ‘rosan‘, ‘rampal‘, ‘dêling‘, ‘wuluh‘, ‘mêling‘.
Orang tua dan simbah-simbah dulu, memanfaatkan segala bagian ‘pring‘ dalam kehidupan. Aku kemudian berfikir, bahwa merawat ‘pring‘ di Pringombo esensinya adalah merawat kehidupan masyarakatnya. Menengok ke bawah dan selalu mengingat akar asal mula kita.
Mengikuti ,menyimak….ngangsu kawruh pada rebowagen