Budaya (rebowagen.com)– Lagu perjuangan berjudul Hari Merdeka atau lebih terkenal dengan nama lagu Tujuh Belas Agustus bulan ini berkumandang hampir di semua pelosok Indonesia. Warga berlomba mencurahkan kreatifitas, dengan mendaur ulang lagu perjuangan ini. Berbagai genre musik menjadikan warna tersendiri. Mulai dari genre pop, keroncong, country, sampai dangdut remix. Di bulan ini masyarakat begitu bersemangat bergotong royong, menyongsong tanggal 17 Agustus. Sebuah tanggal keramat bagi bangsa Indonesia. Karena di tanggal itu, bangsa kita memproklamirkan diri sebagai bangsa merdeka. Membersihkan jalan, menghias gang-gang kampung dan memasang Bendera Merah Putih. Berbagai umbul-umbul dan rontek juga berkibar menyemarakkan suasana. Warga bergotong-royong membuat gapura tujuh belasan, sampai mempersiapkan tempat untuk melaksanakan upacara peringatan detik-detik Proklamasi. Agustus memang bulan yang sakral dan bermakna bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Disela sebuah perjalanan, saya istirahat menikmati keramahan dan suguhan pedagang kopi pinggir jalan. Saya berhenti di Padukuhan Singkil, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan. Suasana padukuhan yang khas membawa pulang ingatan bawah sadar saya pada beberapa cerita tentang Padukuhan Klampis Ireng dalam cerita pedalangan. Saya memang pernah merasakan pendidikan seni pedhalangan di ‘Habirandha‘, Yogyakarta.
‘Kandha Carita’ atau narasi cerita tentang padukuhan ‘Klampis Ireng’, adalah wilayah tempat tinggal para Panakawan. Ki Lurah Semar beserta anak-anaknya. Saya teringat cuplikan ‘janturan‘ yang menceritakan suasana Padukuhan Klampis Ireng.
“Pinggir margi tinanduran turus ijo kang urut sarwi patut. Enggok-enggokan pinager sela seta. Rineka daya urut-runtut sarwi patut, tinata jalma kang pana lan pratitis ing samukawis. Lurung-lurung lumebet kampung pinager bethek deling. Kasungging warni seta mawi padhas linebur. Saben plawangan marga winangun gapura deling gadhing kang rineka rinengga. Dimen edi peni ndudut wigati lan sineratan pepenget dina mardikaning bangsa. Sak puncaking gapura rinengga dwaja Pusakaning Bangsa nenggih Sang Dwi Warna. Datan kantun lambang dhasaring negara Sang Garudha kang ngregem sastra BHINEKA TUNGGAL IKA“.
Terjemahan bebas dari ‘janturan‘ ini menceritakan tentang suasana padukuhan yang menyambut hari kemerdekaan. Bagaimana warga bergotong-royong menghias lingkungannya. Narasi suasana desa Klampis Ireng ini sangat terasa dan terlihat jelas di angan-angan saya.
Saya teringat ke zaman tahun 90an. Saat Simbah saya yang bernama Mbah Darsareja masih gagah dan tampan. Dahulu rumah saya di Dusun Seneng, Kalurahan Siraman, Kapanewon Wonosari masih sangat lengang dan jauh dari keramaian mesin kendaraan. Berbanding terbalik dengan suasana saat ini. Lalu-lalang para wisatawan menuju pantai selatan Gunungkidul melewati jalan aspal yang terhitung masih baru. Jalur ini membelah Padukuhan Seneng di depan rumah saya. Suasana Dusun Seneng kala itu hampir sama, seperti suasana Dusun Singkil saat ini. Meskipun sama-sama menjadi jalur wisata, namun perbedaanya Dusun Singkil masih mampu mempertahankan suasana padusunan yang asri.
Sebelum datang bulan Agustus, Mbah Darsa pasti “ngrampasi” (menebang) bambu apus di pekarangan rumah samping kandang ternak. Memotongnya sesuai ukuran dan membersihkannya agar saat “glugut” bambu tidak mengenai tangan yang bisa menyebabkan ‘gatelen‘ atau iritasi.
Simbah lalu melarutkan gamping yang besok akan digunakan mewarnai potongan dan belahan bambu-bambunya. Merapikan sekeliling lingkungan rumah juga beliau lakukan. Memotong dahan-dahan pohon yang menjorok ke jalan dan pekarangan para tetangga.
Saat bulan Agustus telah tiba, bambu yang telah setengah kering dan bersih dari bulu ‘glugut‘, beliau belah dengan berbagai ukuran. Beliau membuat “bethek” atau pagar dari bambu apus. Bambu yang telah terbelah dirangkai panjang mengelilingi pekarangan rumah. ‘Tutus’Â atau tali yang terbuat dari bambu apus muda menyatukan rangkaian ‘bethek pring’ (pagar/pembatas yang terbuat dari bambu) buatan simbah.
Batu ‘giring‘ setinggi satu meter berdiri horizontal sebagai ‘cagak bethek‘ (tiang pagar). Pagar ini dilumuri rendaman gamping yang disebut ‘labur‘ yang berwarna putih. ‘Labur‘ akan luntur dan membekas di pakaian atau diatas tubuh yang menggoresnya. Pagar ‘bethek‘ ini akan saling tumpang-tumpangan dengan ‘bethek‘ buatan tetangga. Yang akhirnya membuat pagar ini terhubung antar bambu ke bambu, sehingga pagar menjadi sangat panjang. Ini adalah gambaran betapa erat dan intimnya hubungan persaudaraan dan tolong menolong antar tetangga. Saya memutuskan menyudahi perjalanan nostalgia di Dusun Singkil ini. Pulang! dengan seribu andai dan kenangan kembali ke zaman dulu.
Hari berganti, saya memulai perjalanan ke arah kota Yogyakarta. Di dusun Bunder setelah hutan Wanagama, saya masih menemui gapura bambu. Dulu Simbah Darsa selalu membuatnya di depan gang masuk rumah. Bambu apus menjadi bambu pilihan sebagai gapura ‘pitulasan’ di dusun Bunder. Kini gapura ini telah jarang di temui di kawasan Kapanewon Wonosari. Bambu-bambu dihias rupa dan warna, menggunakan berbagai hiasan yang materialnya mudah didapat. Kadang juga menggunakan barang-barang bekas yang tidak lagi terpakai. Misalnya dengan ‘kukusan‘, ‘tampah‘, ‘irig‘, ‘centong‘, kaleng susu, botol air minum, ember plastik, kertas minyak, sampai batok kelapa.
Gapura bambu atau gapura ‘pitulasan’Â pada massanya pernah menjadi ikon dan penting. Bahkan dalam tanda kutip bisa menjadi tolok ukur kerukunan antar warga. Jika ada satu dusun tidak membuatnya, sementara yang lain membuat, maka bisa jadi dusun itu mendapat predikat dusun yang tidak kompak warganya. Gapura bambu juga menjadi wajah sebelum memasuk kedalam suatu wilayah. Sehingga dulu, gapura bambu ini dibuat dengan sangat indah dan menawan. Kini gapura bambu dan pagar ‘bethek‘ sudah jarang ditemukan. Mereka diganti dengan gapura dan pagar permanen, dari besi juga semen.
Jika dikaji lebih jauh, pemasangan atribut-atribut untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan seperti Bendera Merah Putih dan segala pernak-perniknya sesungguhnya memiliki makna yang dalam untuk kita pelajari, dan kita teladani. Nilai dari simbol-simbol ini, tidak hanya sekedar warna atau bentuk, namun banyak diselipkan makna dan arti yang mendasar.
Filosofi Bendera Merah Putih
Bendera Merah Putih berkibar di segala penjuru pada bulan Agustus ini. Mulai tanggal 1 Agustus sampai nanti di akhir bulan. Banyak para pedagang bendera yang laris manis. Bendera Merah Putih saat ini banyak kita temukan di setiap persimpangan jalan yang strategis, di dekat gardu ronda, depan halaman rumah, instansi pemerintah dan lain-lain.
Bendera Merah Putih berdiri tegak berjajar lima diatas ompak batu. Bukan tanpa sebab atau alasan dan kebetulan yang disengaja. Bendera berjajar lima adalah sebuah simbol dan pengungkapan, untuk mengingatkan kita tentang suatu makna. Satu bendera dengan tiangnya untuk melambangkan dan mewakili satu sila pada lambang negara Pancasila. Lengkap dengan butir-butir pengamalan Pancasila.
Bendera Merah putih sebagai bendera kebangsaan Indonesia memiliki makna yang mendalam dan luas. Mengutip dari Wikipedia, Bendera Merah Putih sering disebut Sang Saka Merah Putih. Warna merah dan putih bendera negara diambil dari warna panji atau ‘pataka‘ Kerajaan Majapahit. Sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13. Ada pula pendapat yang menyebutkan pemuliaan warna merah dan putih berasal dari tradisi bangsa Austronesia. Hal ini terkait pemaknaan mengenai ‘ibu bumi‘ dan ‘bapa angkasa‘. Karena hal inilah warna merah dan putih kerap muncul di lambang negara Austronesia seperti Tahiti, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, sampai Madagaskar.
Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan. Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam kitab Pararaton. Menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari kerajaan Gelang-Gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang kerajaan Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit, warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri.
Di pengetahuan ilmu Jawa banyak unsur yang memiliki dua makna yang saling terkait dan saling mengisi. Keduanya berjalan bersama, berdekatan dan tidak dapat dipisah apalagi ditinggalkan. Di negeri tirai bambu menyebutnya sebagai ‘Yin‘ dan ‘Yang‘. Suku Jawa menyebutkannya dengan istilah ‘Jagad Ageng’Â dan ‘Jagad Alit’. Istilah yang lebih populer dan ngetop adalah Makrokosmos dan Mikrokosmos. ‘Perlambang’Â atau simbol pengingat adanya dunia besar dan dunia kecil. Makrokosmos adalah jagad dunia alam raya besar dengan semua isinya. Tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi beserta kandungannya. Berdampingan dengan jagad yang lebih kecil bernama Mikrokosmos.
Tujuh ‘perabot‘ hidup yang kita gunakan setiap saat, sejatinya keduanya memiliki isi dan nilai kandungan energi yang sama. Warna merah dan putih pada bendera negara Indonesia juga merupakan peringatan dan penghormatan adanya dua unsur yang saling berdampingan dan menyatu, di alam raya.
Dalam ilmu Jawa, unsur warna merah dan putih memiliki dua identitas. Identitas pertama adalah dua warna ini sebagai warna awal terjadinya suatu peristiwa atau suatu kelahiran, atau disebut warna ‘babon‘ (induk). Warna ini untuk mewakili zat energi ‘bapak‘ atau sifat jantan dan zat energi ‘ibu’ atau sifat betina. Warna putih adalah sifat milik bapak. Sifat bapak diungkapkan sebagai ‘lantaran’ (perantara), atau bapak sebagai biji benih terjadinya kehidupan. Sedangkan warna merah adalah sifat milik ibu. Sifat ibu diungkapkan sebagai tempat atau papan. Dalam identitas pertamanya warna merah dan putih bermakna sebagai pengingat kepada bapak dan ibu. Karena dari dua unsur ini berperan sebagai ‘lantaran’Â (sarana) kehidupan ini dimulai. Hal ini tercermin dari sikap orang Jawa saat berdoa. Kedua unsur ini akan disebut atau ‘disembah‘ setelah Tuhan Yang Maha Esa.
“Ngaturaken pangabekti dumateng bapa kang minangka lantaran, lan ibu kang minangka papan”
(mempersembahkan bakti kepada bapak sebagai sarana dan ibu sebagai tempat).
Istilah lain untuk menyebutnya adalah ‘Kaki Among‘ untuk sifat ayah, ‘Nyai Among‘ untuk sifat ibu. Bermakna pengungkapan secara lahir dan batin agar mengerti dan selalu ingat kepada, pertama; orang tua yang menjadikan kita terlahir di dunia. Kedua; berbakti kepada ibu bumi, tempat kita hidup, mencari makan, mencari rejeki, dan lain sebagainya. Selanjutnya berbakti kepada ‘bapa angkasa‘, dimana pusat energi yang bersinergi bersama ibu bumi. Contoh sederhana ialah energi panas matahari dan turunnya hujan dari angkasa yang melebur di bumi sehingga tumbuh makanan untuk mahluk semesta. Maka setelahnya orang Jawa mempunyai doa berbunyi :
“Ngaturaken pangabekti dumateng ibu bumi tuwin bapa ing akasa, kang lenggah minangka Kaki Lurah Among lan Nyai Lurah Among”
(mempersembahkan bakti untuk Ibu Bumi dan Bapa Angkasa yang berkedudukan sebagai Kaki Lurah Among dan Nyai Lurah Among).
Identitas kedua adalah warna merah dan putih, sebagai simbol energi setelah kehidupan itu terjadi. Orang Jawa memiliki teknologi pengingat bernama ‘kiblat papat lima pancer’. Dalam kisah pewayangan, ilmu kiblat papat lima pancer’ ini bernama ‘Ngelmu kasampurnan Sangkan Paran dumadi’. Identitas warna putih menjadi identitas energi angin, yang bertempat atau ‘lungguh‘ di arah timur. Angin mempunyai makna, kekuatan, kelembutan, mudah berkembang, dan tentu sebagai penyambung kehidupan manusia. Jika manusia tidak lagi bernafas tentu ia telah tiada. Sedangkan warna merah adalah milik energi api. Warna merah energi api ini menempati arah atau disebut kiblat di arah selatan. Api memiliki arti gelora, semangat, keinginan, daya juang, patriotisme dan makna lainnya yang sebangun dengannya.
Para tokoh bangsa Indonesia, pendahulu kita adalah tokoh berwawasan dan berilmu luas lagi mendalam. Bendera Negara berwarna merah dan putih merupakan ungkapan kedalaman keilmuan mereka. Tidak sebatas dwi warna, namun itu adalah bentuk penghargaan setinggi-tingginya kepada orang tua dan alam Indonesia yang menghidupinya. Pengagungan terhadap makna warna merah dan putih tidak cukup jika hanya terucap. Kiranya memang pantas dan mampu jika warna merah dan warna putih didaulat untuk sebagai simbol, agar rasa terimakasih kepada Kaki Among dan Nyai Among tersampaikan.
Pada masyarakat pedesaan, Bendera Merah Putih adalah sebuah pusaka. Para sesepuh menggunakan Bendera Merah Putih sebagai sarana berdoa kepada Tuhan. Mereka berharap menggunakan Bendera Merah Putih dalam kehidupan sehari-hari menjadikan hidup berkah. Contoh penggunaan Bendera Merah Putih ialah saat membangun rumah. Rumah menjadi bagian yang pokok dan penting sebagai tempat tinggal sekaligus tempat untuk membangun kebahagiaan bersama keluarga.
Dalam kebudayaan Jawa rumah memiliki nama yang setiap bagiannya memiliki filosofi tersendiri. Bagian paling sakral dari bangunan rumah bernama ‘suwunan‘. ‘Suwunan‘ adalah komponen yang terletak di bagian paling tinggi pada bangunan rumah. Kata ‘suwunan‘ bermakna ‘panyuwunan’Â atau permintaan yang tertuju kepada Tuhan. Ketika mendirikan rumah, pada ‘suwunan‘ akan terpasang Bendera Merah Putih. Memasang ‘suwunan‘ juga tidak bisa sembarang waktu. Semua diatur dan ditata agar doa keselamatan dan kedamaian terpatri kuat di dalamnya. Menunjukkan bahwa bendera merah putih itu luhur dan sakral lagi bertuah demi menjaga kedamaian sang penghuni rumah.
Makna merah dan putih dalam bunga sesaji
Di kehidupan orang Jawa, ‘ubarampe‘ sesaji masih sering disertakan guna berdoa dan merawat tradisi nenek moyang. Berbagai macam jenis sesaji baik secara sederhana maupun secara lengkap, masih mudah kita temui di pedesaan Jawa. Kawasan Gunungkidul memiliki adat budaya tradisi yang amat kaya dan beragam. Mulai dari tradisi bulanan, sampai tahunan. Tradisi bulanan misalnya adalah ‘midhang‘, atau ‘netonan‘. Tradisi tahunan misalnya ‘rasulan‘, sebuah tradisi yang teramat favorit dan populer di Gunungkidul. Juga ada tradisi ‘gumbregan‘ yang dilaksanakan setahun dua kali, serta tradisi ‘nyadran‘ atau ‘besik‘ setiap setahun sekali.
Satu demi satu sesaji yang tertata mempunyai makna dan arti tersendiri. Satu bagian dari ‘ubarampe‘ bisa bermakna sendiri atau bermakna rangkap, tentu sesuai keinginan si pembuat sesaji.
Sesaji bunga setaman misalnya, sesaji ini kaprah dan lumrah serta familiar di semua kalangan. Bunga setaman atau juga disebut bunga sri taman mempunyai lima komposisi yang tidak boleh kurang. Maksud saya adalah kelima jenis bunga ini harus ada dan tidak boleh tertinggal. Komposisinya yaitu,
- Bunga mawar merah (Rosa spp): bermakna menghormati dan memperingati jasa bapa angkasa dan jasa bapa darah daging kita.
- Bunga mawar putih (Rosa alba): bermakna menghormati, memperingati, berterimakasih kepada ibu bumi tempat hidup manusia. Juga untuk berterimakasih kepada ibu yang mengandung dan melahirkan kita.
- Bunga kenanga (Cananga odorata): bunga ini mempunyai lima kelopak. Angka lima dalam kelopak bunga kenanga ini sebagai pengingat adanya saudara saudara yang membantu dan mengasuh manusia. Saat masih di alam kandungan sampai saat lahir dan menua. Bunga kenanga untuk memperingati adanya energi ‘kiblat papat lima pancer‘. Orang Jawa sering menyebutnya dengan saudara ‘Sedulur papat lima pancer’.
- Bunga melati (Jasminum): intisari pemaknaan bunga melati diambil dari ‘jarwa dosok’ (ungkapan). Bunga melati adalah ‘mulating ati‘. ‘Mulat‘ berarti berkobar, bisa juga bermakna melihat. Orang Jawa berharap mereka melihat semua kejadian di dunia dengan hati. Dimaksudkan mengurangi unsur nafsu amarah, agar tentram damai lahir dan batin.
- Bunga kantil (Magnolia Ă—alba): sama dengan pemaknaan bunga melati. Bunga kantil ini diambil dari ungkapan ‘jarwa dosok‘ bermakna ‘kumanthil’. Dalam bahasa Indonesia makna yang mampu mendekati adalah terjalin. Harapannya orang yang sedang memiliki hajat atau cita-cita tidak lupa akan siapa sesungguhnya penguasa bumi dan langit. Bunga kantil bermaksud menjali hubungan dengan Sang Pencipta. Maka bunga kantil jika dipergunakan sebagai sesaji dalam rangkaian doa, ia mendapat predikat bunga inti sesaji.
Berikut ini contoh pengucapan menghaturkan sesaji bunga setaman.
“Niat ingsun ngaturaken Sekar setaman. Sepindah ngaturaken pangabekti dumateng kaki Among lan Nyai Among, ugi ibu bumi Saha bapa angkasa. Kang ngemongi lan ngembani sak laku jantrane jabang bayi, lelantaran Sekar abrit klawan seta. Ugi ngaturaken matur nuwun dumateng sedulur papat lima pancer, kang nuntun ing kiblat papat lima pancer. Mugi Kang Karya Jagat paring mulating salira, kumanthil ing ngarsa panjenengan.”
Demikian sedikit ulasan tentang pilihan warna merah dan putih yang digunakan sebagai bendera atau lambang negara. Dwi Warna yang memang telah akrab, menjadi simbol yang mendasar bagi perikehidupan leluhur. Bahkan sebelum bangsa Indonesia lahir.