Lingkungan(rebowagen.com)– Meningkatnya intensitas bencana Hidrometeorologi akibat perubahan iklim global membuat banyak pihak was-was. Cuaca ekstrim ini akhirnya menjadi pemicu bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, angin kencang/puting beliung dan yang lain. Melansir data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa di tahun 2022 ini saja tercatat ada 1733 kejadian bencana alam terjadi di tanah air. Angka ini terhitung dari tanggal 1 Januari sampai 6 Juni 2022.
Pemanasan global dituding menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara makro (climate change). Namun pada hakekatnya ‘tak ada asap jika tak ada api’, artinya pemanasan global ini juga disebabkan oleh ulah manusia. Limbah industri, buangan emisi serta pencemaran adalah sisi buruk dari aktivitas ekonomi. Deforestasi hutan dan eksplorasi besar besaran yang tidak mempertimbangkan keseimbangan juga secara langsung menjadi pemicu terjadinya bencana alam.
Bencana alam di Gunungkidul
Kabupaten Gunungkidul yang sejak dulu dikenal dengan bencana kekeringan, beberapa tahun terakhir malah justru terjadi bencana banjir saat musim penghujan tiba. Angin kencang atau puting beliung yang oleh orang dulu disebut ‘cleret tahun’ atau ‘lesus’ intensitasnya juga meningkat menghampiri wilayah Gunungkidul.
Beberapa waktu lalu, dua kejadian angin puting beliung dahsyat melanda wilayah Kapanewon Semanu dan Paliyan. Akibat kejadian ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gunungkidul mencatat beberapa rumah roboh dan ratusan lainnya mengalami rusak berat sampai ringan. Angin juga menumbangkan ratusan pohon di jalur yang dilaluinya.
Dua bencana angin ini termasuk bencana dalam skala besar yang terjadi. Pemkab Gunungkidul bahkan sempat menetapkan status tanggap darurat bencana. Puluhan kejadian bencana angin kencang, longsor dan banjir dalam skala kecil sampai menengah juga dilaporkan banyak terjadi di sepanjang 2021 sampai memasuki tahun 2022. Tahun ini juga terjadi fenomena ‘rendeng gandhok’ atau kemarau basah akibat anomali musim kemarau yang cenderung basah.
Melansir artikel CNN Indonesia, berdasar penelitian dari Erma Yulihastin peneliti Klimatologi PSTA Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) menjelaskan, bahwa anomali musim kemarau basah disebabkan oleh pengaruh dinamika laut atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia. Dinamika ini ditunjukkan dari pembentukan pusat tekanan rendah berupa angin yang dinamakan Vorteks yang terbentuk di selatan ekuator dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa. Selain terjadi Vorteks, dipengaruhi juga anomali suhu permukaan air laut lokal.
Pohon sebagai salah satu upaya Mitigasi bencana angin puting beliung
Mitigasi bencana diartikan sebagai segala upaya untuk mengurangi resiko bencana. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pembangunan secara fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Melansir tulisan Kompas.com yang berjudul ‘Menanam Benteng Puting Beliung’ dijelaskan bahwa salah satu upaya meminimalisir efek kerusakan yang ditimbulkan oleh angin kencang atau puting beliung adalah dengan menanam pohon di sekeliling pemukiman penduduk. Penghijauan, penataan ruang, penguatan konstruksi rumah diyakini dapat mengurangi ancaman kerusakan oleh angin puting beliung.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pohon mempunyai kemampuan untuk meredam kecepatan dan daya rusak angin. Fungsinya hampir sama dengan karang atau beton dermaga sebagai pemecah gelombang laut. Pohon-pohon keras yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar pemukiman mampu memecah kekuatan angin sehingga dampak yang ditimbulkan akan lebih ringan.
Berbeda ketika kekuatan angin ini menghantam pemukiman tanpa ada ‘benteng’ berupa pohon. Maka kita dapat membayangkan, akan seperti apa daya rusak angin saat menerjang langsung rumah-rumah penduduk saat angin masih dengan kekuatan penuh.
Fungsi lain dari pohon juga ditulis dalam artikel okezone.com yang berjudul ‘Manfaat Pohon Beringin Untuk Mitigasi Bencana’. Artikel ini memuat keterangan resmi dari BNPB terkait manfaat pohon beringin untuk upaya mitigasi bencana. Beberapa diantaranya adalah menahan erosi atau tanah longsor, menambah cadangan (menyimpan) air tanah, menahan terjangan angin dan gelombang serta menyerap polusi dan memproduksi oksigen.
“Pohon beringin mempunyai perakaran yang kuat dan dalam sehingga tidak mudah tumbang. Akar gantungnya mudah berkembang dan menyatu dengan batang utama. Pohon ini punya manfaat besar untuk konservasi lingkungan,” tulis BNPB.
Saat ini, pemahaman tentang fungsi pohon di masyarakat mulai berkurang. Bahkan tak jarang pohon yang dinilai tidak mempunyai fungsi ekonomi secara langsung dianggap tidak ada manfaatnya dan harus dihilangkan.
Di Gunungkidul sendiri banyak kejadian pohon-pohon besar yang ditebang atau dimatikan karena dianggap mengganggu. Akarnya mengganggu bangunan, menyita banyak ruang, daunnya menjadi sampah sampai pemahaman bahwa pohon besar adalah rumah ‘demit’ atau setan sehingga dianggap angker.
Harus ada upaya penyadaran dan edukasi bersama untuk hal ini. Ke depan, jika semakin dibiarkan maka akan semakin banyak pohon-pohon besar yang ditebang demi alasan sebuah pembenaran sepihak. Dengan semakin kita acuh dan tidak peduli, maka alam akan semakin tidak berimbang, sehingga potensi bencana alam akan semakin sering terjadi.
Untuk Gunungkidul, jika vegetasi pohon semakin berkurang maka ketika musim kemarau, kekeringan akan semakin meluas. Dan jika musim hujan datang maka banjir menjadi suatu hal yang lumrah.
Dan disaat angin kencang atau puting beliung melanda maka judul berita di media-media tidak lagi ‘Akibat Puting Beliung, Dua Rumah Roboh dan Ratusan Pohon Tumbang’ tapi ‘Akibat Puting Beliung, Ratusan Rumah Roboh dan Dua Pohon Tumbang’.