Arena sabung ayam yang digelar pada sebuah bukit di wilayah pegunungan selatan Gunungkidul tampak gayeng. Ayam aduan milik Prawiro Seti kelihatan sangat tangguh, seluruh musuh- musuhnya kalah dan mati bersimbah darah. Sunan Kalijaga bersama ‘pendereknya‘ yang bernama Kadak kemudian berinisiatif membeli ayam-ayam yang telah kalah dan mati, kemudian dimandikan dengan cara ‘digabyoki‘ di sebuah sendang. Dan ajaib, ayam-ayam tak bernyawa itu bisa hidup kembali. Melihat hal itu Prawiro Seti yang terkenal sakti mandraguna merasa tidak terima, seakan ditantang oleh Sunan Kalijaga. Perseteruan dua tokoh sakti ini akhirnya tidak bisa dihindarkan.
Sejarah (rebowagen.com) — Sepenggal cerita diatas adalah sebuah kisah asal muasal terjadinya Desa Winangun atau sekarang menjadi Kalurahan Purwodadi, Kapanewon Tepus, Gunungkidul. Siang itu, setelah kami mengikuti ritual upacara adat Ngalangi di pantai Nglambor, kami kemudian diajak mbah Saido untuk mendaki bukit/gunung Batur Watu Suweng, dimana pada puncaknya terdapat sebuah ‘petilasan‘ yang diyakini sebagai peninggalan sunan Kalijaga.

Gunung Batur Watu Suweng, tingginya tidak seberapa, setelah berjalan mendaki sekitar 15 menit dari parkiran sepeda motor, kami sudah sampai di sebuah tanah datar di puncak bukit. Suasana sepi dan magis langsung terasa. Beberapa pohon Resan Kepuh, Klumpit, Gentungan dan Bibis tumbuh menjulang tinggi dan meraksasa. Struktur batuan di puncak bukit ini terlihat aneh, bukan batu karang keras laiknya batu cadas wilayah selatan Gunungkidul, akan tetapi berupa batuan endapan lava gunung api.
“Bukit ini namanya Gunung Batur Watu Suweng, dipercaya sebagai salah satu petilasan dari Sunan Kalijaga. Bentuk batu-batunya memang aneh, di sini merupakan batas dari struktur batuan endapan lava gunung api Batur Agung yang berada di sebelah pantai Wedi Ombo dan batuan karang,” terang mbah Saido sambil duduk bersila di bawah Resan Kepuh.
Teriring angin yang gemerisik dan beberapa suara burung hutan, mbah Saido kemudian mulai berkisah tentang cerita rakyat asal muasal terjadinya desa Winangun yang sampai sekarang masih diamini banyak warga.
Kisah sejarah tentang runtuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya kerjaan Demak menjadi awal dari cerita ini. Empat tokoh yang dipercaya sebagai cikal-bakal dari desa Winangun merupakan ‘penderek‘ atau pengikut Raja Brawaijaya V, yang melarikan diri sampai ke wilayah Gunungkidul.
Kono cerita, dalam pelarian Prabu Brawijaya yang dikejar-kejar oleh Raden Patah, akhirnya mereka sampai di tempat ini. Prabu Brawijaya kemudian memerintahkan empat orang ‘pendereknya‘, yaitu Bendho, Dalem, Barat dan Prawiro Seti untuk tinggal menetap, sementara ia sendiri akan melanjutkan perjalanan.
“Siro kabeh goleko pangupo-jiwo ing tlatah kene, mesakne keluargamu ndak melu urip kedarang-darang”
(kalian semua tinggal dan menetap di sini saja, kasihan keluargamu jika harus ikut mengembara dan hidup tidak menentu),
tutur mbah Saido menirukan ‘titah‘ atau perintah dari Prabu Brawijaya.
‘Sendiko‘ dan patuh terhadap ‘titah‘ rajanya, ke empat penderek ini beserta keluarganya kemudian tinggal menetap dan berusaha membuka sebuah pemukiman di bukit-bukit di wilayah selatan Gunungkidul. Kerasnya alam menjadi tantangan yang sangat berat bagi mereka untuk bertahan hidup, sehingga perkembangan pemukiman baru ini sangat lambat.
Teriring waktu, rombongan lain dari pelarian Majapahit akhirnya ada juga yang sampai ke tempat ini. Mereka mencari kabar tentang keberadaan rekan-rekannya yang diperintah oleh Prabu Brawijaya untuk menetap dan bermukim di suatu bukit di Gunungkidul. Saat sampai dibawah bukit mereka kemudian diberitahu bahwa teman yang dicari saat ini bermukim di atas.
“Baturmu ki do neng nduwur kae,” (Batur atau teman-temanmu itu berada diatas bukit itu). Menurut mbah Saido, dari kata ‘batur‘ ini akhirnya bukit ini dinamakan Gunung Batur.
Dengan bertambahnya rombongan, akhirnya empat tokoh ini mulai berhasil mengembangkan pemukiman di seputaran Gunung Batur. Orang-orang pelarian ini akhirnya ‘ngremboko‘ (berkembang) sehingga wilayah menjadi semakin ramai. Prawiro Seti menjadi seorang tokoh yang disegani karena kesaktiannya. Kegemaran dari mereka adalah sabung ayam.
Ayam milik Prawiro Seti dikenal sangat tangguh, bahkan ayam-ayam ini jika berjalan diatas batu yang keras, tapak kakinya bisa membekas. ‘Bercek‘ (bekas/jejak) dari kaki ayam milik Prawiro Seti ini sampai sekarang masih bisa dilihat di sebuah lempengan batu di suatu bukit yang dinamakan Gunung Bercek.
Hingga pada suatu ketika, mbah Saido melanjutkan ceritanya, Sunan Kalijaga melakukan perjalanan dengan niat untuk menanam tapal (tugu) batas antara kerajaan Pajang dan Mataram. Saat sampai di Gunung Batur, Sunan yang dikenal sebagai salah satu Wali besar tanah Jawa yakni Wali Songo itu menemui sebuah desa yang telah ramai. Akan tetapi pemukiman yang dibangun para pelarian dari Majapahit ini belum tercatat masuk dalam wilayah kerajaan Mataram ataupun Pajang.
Pada akhirnya, Sunan Kalijaga kemudian memutuskan singgah sementara di pemukiman baru yang dipimpin oleh Prawiro Seti. Dalam ‘laku‘ perjalanannya, Sunan Kalijaga melakukan ‘tirakat‘ puasa Mbrakah yakni hanya memakan jagung, ketela, kacang dan minum air degan (kelapa muda) dan tebu. Perilaku dari Sunan Kalijaga ini tidak disenangi oleh penduduk sekitar Gunung Batur, karena mereka masih menganut kepercayaan yang dibawa dari asal mereka, yakni kerajaan Majapahit.
“Kanjeng Sunan dianggap sebagai pendatang baru yang sok ‘keminter’ dan kepercayaannya berbeda, sehingga banyak penduduk yang memusuhinya,”
lanjut mbah Saido.
Puncak perselisihan terjadi saat Sunan Kalijaga menghampiri arena sabung ayam yang dilakukan oleh warga. Ayam-ayam yang kalah dan mati saat diadu dengan ayam milik Prawiro Seti dikumpulkan oleh abdi Sunan yang bernama Kadak, kemudian dibeli oleh Sunan Kalijaga.
“Ayam-ayam itu kemudian dimandikan disebuah sendang disebelah bukit Gunung Batur, dengan cara ‘digabyoki’. Sendang itu kemudian disebut sebagai sendang Gabyok, dan sampai sekarang bau airnya masih amis, seperti darah ayam,” kata mbah Saido.
Ajaibnya, ayam mati yang dimandikan oleh Sunan Kalijaga, tiba-tiba bisa kembali hidup. Hal ini menjadi kabar yang menggegerkan seluruh warga. Prawiro Seti yang mendengar kesaktian Sunan Kalijaga menjadi marah dan tidak terima. Ia dan tiga temannya yaitu Bendho, Barat dan Dalem kemudian menantang Sunan Kalijaga untuk adu kesaktian.
“Singkat cerita, dalam adu kesaktian itu, mbah Pawiro Seti dan teman temannya akhirnya kalah, tetapi Sunan Kalijaga tidak menyakiti atau membunuh mereka, bahkan Sunan malah mengajak semuanya untuk menuntut ilmu yang digunakan untuk mengalahkan mereka, yaitu ajaran agama Islam,” lanjutnya.
Prawiro Seti, Dalem, Barat dan Bendho beserta warganya kemudian ‘nderek‘ dan berguru ajaran agama Islam kepada Sunan Kalijaga. Sunan kemudian meminta agar di atas Gunung Batur diletakkan sebuah ‘padasan‘ atau tempat untuk berwudhu. Akan tetapi, karena belum tahu, maka Prawiro Seti dan yang lain tidak bisa meletakkan ‘padasan‘ itu diatas dudukan batu.
“Kanjeng Sunan kemudian memerintahkan untuk membuat semacam ‘tatakan’ atau dudukan batu berbentuk bulat yang tengahnya bolong, yang berfungsi agar ‘padasan’ bisa diletakkan dengan pas. Batu bundar dan bolong ini bentuknya mirip ‘suweng/ceplik’ atau perhiasan yang dipasang pada telinga perempuan, maka selanjutnya tempat ini disebut Gunung Batur Watu Suweng,”
tutur mbah Saido panjang lebar.
Oleh Sunan Kalijaga, kemudian mereka diperintah untuk ‘babat alas‘ atau membuka hutan di sebelah utara Gunung Batur, di dekat tempat yang tumbuh pohon Cepoko. Kerja keras oleh Prawiro Seti dan anak-anaknya berhasil membuat tempat yang dulunya hutan belukar menjadi sebuah lokasi yang ‘wangun‘ (bagus).
“Akhirnya tempat baru tersebut dinamakan desa Winangun, berasal dari kata “wangun,” lanjut mbah Saido.
Setelah berpindah ke desa Winangun, pemukiman menjadi tambah ramai dan maju, bahkan salah satu anak dari Prawiro Seti yang bernama Nyai Surti diperistri oleh salah satu anak dari Demang Kemadang.
“Mantu dari mbah Prawiro Seti ini akhirnya menggantikan jabatan mertuanya, dan disebut sebagai mbah Kancing, karena beliau mendapat ‘kekancingan’ (surat kuasa) yang diberikan oleh Panembahan Senopati, raja Kerajaan Mataram,” imbuh mbah Saido.
Sunan Kalijaga sendiri, lanjut mbah Saido kemudian menetap agak lama di desa Winangun. Bahkan beliau sempat membangun sebuah pondok pesantren di sebuah lokasi yang dinamakan alas Cekelan. Kata Cekelan berasal dari kata yang mempunyai arti santri atau murid.
Sementara sisa air yang digunakan untuk mengambil air wudhu di puncak Gunung Batur, dipercaya muncul di bawah dalam bentuk tujuh mata air yang disebut sebagai ‘sumber pitu‘. Tujuh mata air itu adalah Belik Ngglibeng, Belik Cekelan, Kali Cekelan, Sendang Gabyok, Welutan, Sendang dan Nduren.
Keyakinan masyarakat Winangun tentang cerita Sunan Kalijaga yang sempat sampai di wilayah mereka ini masih sangat diyakini kebenarannya. Ritual upacara adat juga masih dilakoni sampai sekarang yang disebut Besik Petilasan. Bahkan ritual ini menjadi rangkaian pertama dari seluruh rangkaian upacara Bersih Desa/Rasul desa Winangun.
Besik Petilasan dilaksanakan pada hari Jumat Legi, pas tanaman padi para petani mulai menguning, seluruh warga berkumpul di petilasan, mereka kerja bakti membersihkan lokasi dan dilanjutkan kenduri dengan ‘ubo-rampe‘ segala hasil bumi pertanian.
“Kami hanya berusaha melestarikan adat tradisi, untuk segala permohonan tentu hanya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,”
pungkas mbah Saido dalam perjalanan turun dari Gunung Batur.