Budaya(rebowagen.com)– Hampir disetiap desa atau dusun di Gunungkidul ada cerita berkaitan dengan sebuah sumber air dan pohon penjaganya. Cerita tutur diwariskan turun temurun, berkisah tentang asal muasal atau ‘cikal bakal’ suatu tempat. Tak jarang nama pohon, nama hewan, nama air atau suatu peristiwa/kejadian yang terkait kemudian menjadi nama desa atau dusun (toponim) daerah itu. Selama ratusan tahun dalam rentang waktu peradaban, sumber air adalah penyangga utama perikehidupan masyarakat desa. Upacara adat untuk menghormati sumber air akhirnya menjadi budaya yang melekat. Sebuah tradisi yang diwariskan turun temurun. Menjadi pengingat dan pembelajaran generasi tentang spirit perjuangan leluhur dalam membangun sebuah peradaban.
Jum’at pagi (29/07/2022) cuaca cukup cerah, udara terasa dingin dan kering. Kalau kata Siwo Adi “ademe kaya ngene wis ketiga tenan nek iki” (dinginnya seperti ini, sudah masuk musim kemarau betulan)”. Ungkapan tetangga saya yang masih terhitung kerabat itu terdengar ragu. Maklum beberapa tahun belakangan cuaca makin sulit ditebak, kadang bisa panas lalu tiba-tiba hujan deras bercampur angin. Sebuah bukti nyata dari perubahan iklim.
Menyinggung perubahan iklim, efeknya memang sudah terjadi dan nyata. Saya jadi teringat dengan satu pembahasan hukum dasar ilmu fisika yaitu hukum ‘entropi’. Bahwasannya semua yang ada di dalam sistem (baca: alam semesta) akan menuju ke dalam kondisi ketidakteraturan atau kehancuran. ‘Entropi’ bisa dikatakan meningkat ketika suatu sistem yang awalnya teratur menjadi tidak teratur. Semakin tidak teraturnya suatu sistem, maka meningkat cepat pula entropinya. Dan perubahan iklim yang terjadi saat ini bisa jadi adalah sebuah wujud dari hukum ‘entropi’. Dimana keseimbangan alam sudah mulai terganggu. Ancaman perubahan iklim dan cuaca ekstrem adalah sinyal-sinyal ‘entropi’ mulai tampak nyata.
Entropi memang tidak bisa dihentikan, namun bukan berarti tidak bisa diperlambat. Hal ini menjadi penting agar bumi bisa berumur panjang untuk menjadi tempat tinggal manusia. Langkah yang bisa dilakukan untuk memperlambat entropi, salah satunya dengan cara tidak melakukan banyak pemborosan energi. Selain itu, belajar dari berbagai kasus kerusakan dan eksploitasi berlebihan terhadap alam, membuat kita harus kembali mengkaji dan menggunakan sistem-sistem lokal yang lebih ramah terhadap lingkungan. Ini menjadi hal yang paling mungkin dilakukan untuk memperlambat laju ‘entropi’.
Sistem lokal yang saya maksut adalah budaya masyarakat sehari-hari. Pengertian budaya hanya sebatas seni tradisi atau seni pertunjukan kiranya harus diperlebar perspektifnya.
“Budaya harus kita artikan sebagai sesuatu yang melekat, menjadi kepribadian, dan tercermin dalam tingkah laku masyarakat sehari-hari. Termasuk disini adalah budaya menghormati alam sebagai ruang hidup bersama,” begitu kata Agus Wibawanto. Agus adalah warga Padukuhan Sumbermulyo, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari. Pria yang akrab disapa Iba ini adalah penggagas acara Festival Air yang dibarengkan dengan upacara adat Besik Sumber Pancuran.
Saya memang sengaja datang pada acara ini. Saya tertarik karena judul acara sangat menggelitik. Sumber air Pancuran terletak persis dibawah jalan perempatan lampu merah. Untuk wilayahnya masuk dalam Padukuhan Sumbermulyo, Kalurahan Kepek. Sumber ini termasuk salah satu sumber air yang berada di dekat kota Wonosari. Jaraknya kurang lebih 5 menit perjalanan dari alun-alun Wonosari. Di dekatnya juga mengalir sungai Siraman yang keadaannya tercemar berbagai limbah. Sungai ini memang mengalir membelah kota. Pencemaran sungai adalah masalah klasik bagi banyak kota di Indonesia. Nah, budaya masyarakat yang dekat dengan kota dalam menghormati sumber air ini yang begitu menarik perhatian saya.
Saya datang agak terlambat, pasukan ‘Bregadha’ sudah nampak memulai arak-arakan dari balai Padukuhan Sumbermulyo menuju Belik Pancuran. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah selatan. Di belakang ‘bregadha’ tampak para tetua adat, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Lalu diikuti oleh pembawa ‘gunungan’. Ada dua gunungan yang masing masing dipikul oleh 4 orang. Di belakangnya rombongan ibu-ibu yang menyangga ‘brokohan’ diatas nampan. Disusul oleh warga masyarakat yang membawa berbagai alat untuk membersihkan Belik Pancuran. Paling belakang adalah para perupa Komunitas Ngangsu Kawruh dengan peralatan melukis. Mereka akan mengabadikan momen ini dengan berkarya ‘on the spot’. Komunitas Resan Gunungkidul juga tampak ikut kirab dengan membawa bibit-bibit tanaman. Semua peserta arak-arakan menggunakan pakaian adat Jawa lengkap. Mereka berjalan perlahan sesuai ritme langkah barisan ‘bregadha’.
Warga dan para penonton sudah berjajar padat memenuhi jalan, lokasi Belik Pancuran berada tepat di samping bawah perempatan Pancuran. Karena lalu lintas ramai, butuh waktu agak lama untuk membawa semua peserta dan arak-arakan turun ke lokasi sumber. Arus lalu lintas tampak sedikit tersendat. Pemandangan menjadi kontras, antara kerumunan masyarakat berpakaian adat dengan mobil-mobil yang lewat.
“Ini konsep baru dari Besik Belik Pancuran, kita bikin jadi Festival Air. Selain ‘nguri-uri’ kebudayaan, kami berharap warga juga makin semangat kalau mau besik sumber. Budaya ini harus dilestarikan, agar masyarakat tidak lupa. Belik Pancuran ceritanya dulu adalah sumber air utama yang digunakan oleh masyarakat,” lanjut Iba.
Acara resik sumber biasanya diadakan setahun sekali mengambil hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Biasanya dilaksanakan setelah musim panen jagung atau saat masuk musim kemarau. Setelah serah terima ‘ubarampe’ antara dukuh sebagai wakil masyarakat dan ‘juru kunci’ sendang, acara dimulai dengan pertunjukan tari dari salah seorang seniman. Panggung yang digunakan merupakan panggung terbuka. Terletak tepat di atas Belik Pancuran yang airnya bening sekali. Di bawah akar pohon beringin sulur yang sudah berumur ratusan tahun sang seniman menari. Sungguh menjadi panggung alam yang sangat dekoratif.
“Cerita simbah saya yang juru kunci, dulu di sini ada dua pohon beringin. Sebetulnya yang di sini sekarang yang kecil, beringin yang besar sudah dirobohkan untuk pembangunan jalan dan jembatan” Iba melanjutkan ceritanya.
Saya terkejut mendengar hal tersebut. Beringin yang katanya kecil ini saja ukurannya sangat besar, kurang lebih 5-6 pelukan orang dewasa. Saya jadi membayangkan pohon beringin yang ditebang untuk pembangunan jalan pasti jauh lebih besar lagi.
“Kata simbah, dulu sumber air terletak ditengah jalan, airnya sangat besar. Air keluar sampai memancur, makanya dinamakan ‘pancuran,” imbuh Iba.
Kondisi Belik Pancuran sebelum pembangunan memang menjadi memori kolektif yang mengakar bagi warga Sumbermulyo dan sekitarnya. Nampak dari keseriusan warga sekitar dalam meramaikan acara dan upaya masyarakat untuk terus melakukan tradisi besik sumber sampai hari ini.
“Sumber di sini memang masih aktif digunakan warga untuk nyuci dan mandi. Kadang ya buat ngadem sama ‘jeguran’ (mandi) anak-anak. Bahkan dulu waktu awal-awal pembangunan airnya sempat mati. Warga banyak yang protes, akhirnya sama warga ada beberapa bangunan yang dirombak, meski sempat ‘rame’ dengan pemborong. Akhirnya air bisa keluar lagi” cerita Doris Setyawan, dukuh Sumbermulyo.
Melihat Sumber Pancuran masih sering digunakan oleh warga, ini menjadi satu kunci yang penting dalam proses pelestarian. Karena ketika masih ada ikatan antara manusia dengan sumber, artinya sumber Pancuran masih akan terus dijaga oleh masyarakat sekitar.
Sebelumnya saya tidak menduga kalau acara Besik Belik Pancuran akan dihadiri banyak masyarakat. Mengingat lokasi Belik Pancuran bisa dibilang berada di tengah kota. Gempuran pergeseran kebudayaan jelas lebih cepat terjadi di kawasan ini. Namun melihat geliat antusias warga, membuat pandangan saya berubah. Tidak semua bergantung pada desa atau kota, tapi kembali lagi pada ‘mindset’ masyarakat di dalamnya. Gempuran modernitas, bisa cepat atau lambat, akan menggeser nilai-nilai yang telah melekat di masyarakat. Lestarinya budaya suatu wilayah akan sangat tergantung seberapa kuat masyarakat mempertahankan dan menjaganya.
“Saya kepikiran besik sumber dibuat festival biar terus berkelanjutan sampai tahun-tahun ke depan. Tujuannya jadi pengingat untuk terus menghormati air, karena air bagian dari rezeki. Selain itu sumber air juga selalu identik dengan pohon resan, jadi festival air ini semoga bisa jadi pengingat buat kita semua terutama warga Kepek dan sekitarnya untuk selalu menjaga keseimbangan ini” lanjut dukuh yang terbilang masih muda ini.
Setelah upacara selesai, warga Sumbermulyo baik tua maupun muda beramai-ramai turun ke sumber air untuk membersihkan. Tumpukan tanah bercampur berbagai sampah luapan dari air sungai Siraman mereka kumpulkan dalam karung.
“Membutuhkan usaha bersama untuk soal penanganan sampah dan pencemaran sungai. ‘Nguri-uri’ tradisi seperti ini adalah budaya konkrit agar kita selalu menjaga, menghormati dan merawat alam. Ketika itu menjadi kesadaran, maka tentu tidak akan sembarangan buang sampah,” kata Heri Susanto, Wakil Bupati Gunungkidul yang ikut hadir sebagai undangan.
Besik Sumber Pancuran yang diinisiasi oleh Iba dan masyarakat Sumbermulyo ini adalah salah satu upaya untuk menjaga dan merawat sistem lokal atau budaya hubungan manusia dengan alam. Alam berperan menyediakan air melalui mata air Pancuran yang sangat bening dan boleh digunakan oleh siapa saja. Sedang manusianya berperan sebagai penjaga mata air dan ekosistem pendukung agar mata air bisa terus lestari.
Korelasi antara budaya dan memperlambat proses ‘entropi’ yang saya bahas di depan, benang merahnya ketemu disini. Budaya manusia menghormati dan merawat alam harus selalu dijaga. Alam sebagai ruang hidup sebetulnya sudah mempunyai sistem keseimbangannya sendiri. Hanya kita sebagai manusia yang memanfaatkan tentunya harus arif dan tidak serakah. Karena generasi selanjutnya juga mempunyai hak yang sama untuk hidup.