Budaya(rebowagen.com)– Zaman modern yang membawa kemajuan Iptek pada saat ini membawa banyak perubahan dalam tatanan sosial masyarakat. Hal ini membuat saya sebagai seorang bapak yang mempunyai anak masih sekolah merasa was-was. Apabila tidak bisa mensikapi dengan bijak, kemajuan Iptek menjadi tidak lagi berkorelasi positif. Bahkan akan berbanding terbalik dengan tingginya perilaku menyimpang. Penyimpangan ini, akhirnya menjadi pelanggaran etika sosial di masyarakat. Tata krama, sopan santun dalam pergaulan yang bersumber pada nila-nilai luhur budaya bangsa perlahan-lahan mulai meluntur.
Pada akhirnya, banyak tindakan yang cenderung anarkis atau kriminal. ‘Klitih’, main hakim sendiri, sifat individualis, korupsi dan tindakan asusila semakin merajalela. Ajaran sopan santun dan tata krama sebagai pondasi dasar pendidikan anak menjadi suatu hal yang asing. Tak heran, saat ini banyak anak-anak yang tak dibekali dengan pengetahuan ini. Kesibukan orang tua, dan pola asuh anak yang keliru menjadi faktor utama. Banyak anak muda yang saat ini tidak tahu, atau tidak memahami nilai-nilai budaya warisan leluhur. Hal ini semakin menegaskan bahwa bangsa ini telah mulai kehilangan jati diri. Ditandai dengan bergesernya nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan serta kemampuan masyarakat dalam pengendalian diri dan membina kebersamaan. Sifat Individual dan mementingkan diri sendiri akhirnya mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya semakin menipis. Kohesi sosial dalam bentuk gotong royong, ‘lir gumanti’ (saling tolong menolong), yang biasa dilakukan masyrakat dalam banyak hal berganti dengan budaya ‘harus berbayar’.
Tembang dolanan sebagai pembentuk karakter anak sejak dini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tembang diartikan sebagai ragam suara yang berirama. Irama tersebut berupa rangkaian tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis. Sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur keindahan atau estetik.
Dalam istilah bahasa Jawa, tembang berarti lagu. Tembang juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata kembang. Kata ini mempunyai persamaan makna dengan kata sekar, atau bunga. Tembang sebagai ekspresi estetik mengandung ciri-ciri utama seperti: bersifat kontemplatif-transedental, bersifat simbolik, dan bermakna filosofis. Sebagai ekspresi estetik, tembang dapat menimbulkan multi tafsir, karena merupakan bagian dari karya sastra yang bersifat multiinterpretable. Pemaknaannya bergantung pada horison harapan pembacanya (Jauss, 1974)
Akhir-akhir ini ‘tembang dolanan’ yang merupakan kekayaan budaya Jawa kembali menjadi perhatian. Kenyataan zaman sekarang tentang lunturnya nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi karakter pribadi anak menjadi keprihatinan beberapa pihak.
Di dalam tembang dolanan memang terdapat pengajaran moral spiritual yang diperuntukkan bagi generasi muda. Dalam masyarakat Jawa tembang sudah ada sejak dahulu. Bahkan sebagian besar warisan budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam bentuk kidung atau tembang. Salah satu warisan budaya yang dahulu digemari oleh anak-anak adalah tembang dolanan. Tembang dolanan ini bukan hanya berfungsi sebagai lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain. Namun juga sebagai sarana bersosialisasi dengan teman-teman dan lingkungannya.
Isi lagu ini bukan sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu, tembang dolanan merupakan karya seni yang sangat menarik karena di dalamnya terkandung makna yang tersirat. Berisi pesan-pesan moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius. Juga mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama, dan senang membantu orang lain
Nilai Local Wisdom dalam tembang dolanan Jawa sebagai pembentuk karakter bangsa
Ada sembilan pilar karakter, yang penting untuk ditanamkan dalam pembentukan kepribadian anak. Berbagai pilar karakter tersebut sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur universal. Sembilan pilar ini adalah,
– Cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya.
– Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian.
– Kejujuran.
– Hormat dan sopan santun.
– Kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama.
– Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah
– Keadilan dan kepemimpinan.
– Baik dan rendah hati.
– Toleransi, cinta damai, dan persatuan.
(Megawangi dalam Indrawati-Rudy, 2010:717).
Sembilan pilar karakter ini, terkandung dalam makna tembang dolanan Jawa itu. Hal inilah yang perlu digaris bawahi betapa pentingnya dikembangkan dalam pendidikan karakter bagi generasi muda penerus bangsa. Berikut ini disampaikan beberapa nilai kearifan lokal (local wisdom) yang tersirat di dalam tembang dolanan Jawa
(1) ILIR-ILIR
“Ilir, lir ilir, tanduré wus sumilir,
tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar.
Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi,
lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana j’rumatana kanggo séba mengko soré
Mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
Yo surako surak hiyo,
(Bangunlah, bangunlah! tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu! Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak dibagian samping Jahitlah, benahilah! untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang Bersoraklah dengan sorakan Iya!)
Syair tembang dolanan yang berjudul “Ilir-Ilir” mengandung pesan moral yang sarat dengan nilai-nilai religius. Tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah. Tembang tersebut menyiratkan pesan bahwa kita sebagai umat manusia diminta untuk mampu bangkit (bangun) dari keterpurukan. Mempertebal iman dan berjuang demi mendapatkan kebahagiaan (sebagaimana pasangan pengantin baru). Buah belimbing yang dipetik si anak gembala (dengan susah payah) itu merupakan ibarat dari perintah Allah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Meskipun berat (banyak rintangan) dalam menjalankannya, (diibaratkan pakaiannya sampai terkoyak sobek), harus tetap dikerjakan. Dengan senantiasa taat menjalankan perintah Allah, terbuka harapan bagi umat manusia untuk memperbaiki diri. Harapannya agar nanti siap ketika waktunya tiba untuk menghadap, memenuhi panggilanNya.
(2) SLUKU-SLUKU BATOK
“Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo Si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah, nek urip goleka dhuwit,”
Tembang “Sluku-Sluku Bathok” mengajarkan kepada kita untuk membersihkan batin dulu sebelum membersihkan badan atau raga. Sebab lebih mudah membersihkan badan dibandingkan membersihkan batin atau jiwa.Mengajarkan kepada kita untuk mengingat Allah di waktu senang maupun susah. Dikala menerima nikmat maupun musibah, Semuanya dilakukan atas kesadaran bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Allah semata. Ketika masih berkesempatan hidup, hendaklah rajin beribadah dan mencari nafkah atas ridha Allah. Karena ketika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya, kita tidak lagi mampu melakukan apapun. Kesempatan terbaik untuk berkarya dan beramal adalah saat ini saat masih hidup. Kepengin kaya, kepengin membantu orang lain dan ingin membahagiakan orang tua. Sekarang saatnya sebelum terlambat, sebelum segala pintu kesempatan tertutup.
(3) PADHANG BULAN
“Yo prakanca dolanan ing njaba Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé Ngélikaké aja turu soré-soré, (Ayo teman-teman bermain diluar Cahaya bulan yang terang benderang
Rembulan yang seakan-akan melambaikan tangan Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur sore-sore).
Tembang dolanan yang berjudul “Padang Bulan” itu mengajarkan kepada kita untuk cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya sebagai ciptaan-Nya. Selain itu tembang dolanan Jawa tersebut juga mengajarkan sifat kasih sayang, kepedulian, dan kebersamaan terhadap sesama manusia. Syair dalam tembang dolanan tersebut mengandung pesan hendaknya manusia bersyukur kepada Allah. Dengan menikmati keindahan alam ciptaanNya. Untuk menunjukkan rasa syukur itu kita diharapkan tidak hanya menghabiskan waktu malam untuk tidur (terlalu awal), namun sebaiknya memanfaatkan waktu untuk bersilaturrahim, dan dan juga melaksanakan ibadah (shalat malam) kepada Allah Swt.
(4) JARANAN
“Jaranan-jaranan… jarane jaran teji sing numpak ndara bei, sing ngiring para mantri jeg jeg nong..jeg jeg gung, prok prok turut lurung gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher, (Berkuda, berkuda, kudanya teji (tinggi besar) yang naik Tuan Bei, yang mengiring para menteri Jeg-jeg nong, jeg-jeg gung, prok prok menyusuri jalanan Gedebug krincing gedebug krincing, prok prok gedebug jedher)”.
Tembang dolanan “Jaranan” mengajarkan nilai-nilai untuk hormat dan santun kepada atasan. Orang yang lebih tua, atau berkedudukan lebih tinggi. Selain itu juga mengajarkan sifat kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama dengan orang lain. Syair dalam tembang tersebut menyiratkan pesan akan pentingnya kebersamaan, karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Bagi yang berkedudukan tinggi (Ndara Bei) membutuhkan pengawalan bawahannya (para menteri) dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, bagi yang mempunyai kedudukan lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Ndara Bei merupakan perlambang orang yang berkedudukan tinggi dan/atau keturunan ningrat yang berpunya (kaya). Ini bisa dilihat dari tunggangan-nya (hewan sebagai kendaraan) adalah kuda yang tinggi besar (jaran teji). Sehingga berjalannya pun harus diiringi oleh bawahannya (para menteri).
(5) MENTHOK-MENTHOK
“Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini
Bok ya aja ndheprok, ana kandhang wae
Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe
Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu, (Menthok-menthok aku nasehati, perilakumu memalukan Jangan hanya diam dan duduk, di kandang saja. Enak-enak mendengkur, tidak bekerja. Menthok-menthok, jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa)”.
Syair tembang dolanan ‘Menthok-Menthok’ mengandung makna bahwa seseorang itu perlu memiliki sikap rendah hati, dan mau instrospeksi diri. Sebagai umat manusia kita tidak boleh sombong, dan harus tetap menghargai orang lain. Sebab, semua ciptaan Allah memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ibarat ‘menthok’, binatang yang penampilannya jelek, tidak menarik, suka tidur, dan malas-malasan pun masih bermanfaat bagi orang lain. Karena mampu membuat orang lain tertawa atas kelucuan tingkahnya. Karena itu, sebaiknya kita jangan segan untuk melihat kekurangan diri sendiri dan tidak mudah merendahkan orang lain atas kekurangannya. Tembang ini juga menyampaikan pesan bahwa sebaiknya kita tidak bermalas-malasan (banyak tidur), karena itu bukan sifat yang baik.
(6) GUNDHUL PACUL
“Gundhul gundhul pacul cul, gemblèlengan
nyunggi nyunggi wakul kul, gemblèlengan
wakul ngglimpang, segané dadi sak ratan wakul ngglimpang, segané dadi sak ratan, (Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul, besar kepala (sombong, angkuh) membawa bakul. Dengan gayanya yang besar kepala (sombong, angkuh) bakulnya jatuh. Nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat lagi)”.
Syair tembang dolanan “Gundul-Gundul Pacul” menggambarkan kelak ketika seseorang menjadi seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul. Bentuk tanggung jawab untuk bekerja keras mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat. Seorang pemimpin harus amanah jangan hanya memikirkan kehormatannya. Gambaran seorang pemimpin yang tidak amanah atau yang sudah kehilangan empat indra, maka pemimpin tersebut akan gembelengan (besar kepala). Istilah lainnya bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Reaktualisasi tembang dolanan Jawa dalam rangka pembentukan karakter bangsa melalui pembelajaran Bahasa Jawa (muatan lokal)
Indonesia merupakan negara besar, memiliki berbagai suku bangsa dengan keragaman budaya tradisinya. Berbagai macam budaya tradisi yang dimiliki itu merupakan suatu kebanggaan dan aset kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Sebagai warga bangsa yang bangga terhadap kebudayaannya, sudah selayaknya apabila selalu berupaya untuk ikut menjaga dan mempertahankan budayanya. Kekayaan budaya itu merupakan identitas suatu bangsa, dalam mengekspresikan jati dirinya.
Tembang dolanan Jawa itu merupakan salah satu sarana komunikasi dan sosialisasi anak-anak (Jawa) dengan lingkungannya. Melalui tembang dolanan itu, anak-anak dapat bergembira, bermain dan bersenang-senang dalam mengisi waktu luang. Tembang dolanan merupakan suatu hal yang menarik bagi anak. Meskipun sarat dengan pesan moral yang mendidik. Tembang dolanan Jawa disampaikan dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dihafal. Dicerna sesuai dengan tingkat kematangan psikologis atau perkembangan jiwa anak yang masih suka bermain. Pesan atau ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral budi pekerti dalam tembang dolanan tersebut, disampaikan melalui perumpamaan-perumpamaan dan analogi. Dikemas dalam bahasa yang sederhana namun tetap indah (estetis).
Patut disayangkan karena dewasa ini tembang dolanan sudah jarang didendangkan ketika anak-anak (Jawa) bermain dengan sebayanya. Mereka, (utamanya) yang tinggal di perkotaan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pengantar sehari-hari. Akibatnya mereka kurang mengenal bahasa Jawa, dan tentunya juga kurang akrab dengan budaya Jawa. Termasuk tembang dolanan Jawa yang merupakan salah satu bagian dari seni budaya tradisi warisan nenek moyangnya.
Dari uraian yang disampaikan, dapat digaris bawahi bahwa pelestarian tembang dolanan Jawa sangat penting bagi generasi penerus bangsa. Namun demikian kendala utamanya adalah telah tergesernya kedudukan dan fungsi bahasa daerah (Jawa) oleh bahasa nasional (Indonesia). Kini generasi muda (Jawa) mayoritas tidak lagi mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Fungsi bahasa daerah (Jawa) telah tergantikan oleh bahasa Indonesia. Padahal menurut teori, sulit bagi seseorang untuk memahami budaya tanpa mengenal bahasanya.
Mengutip pendapat Linguis besar Wilhelm von Humbolt (1835) dan Antoine Meilet (1857). Bahwa begitu dekatnya hubungan antara budaya dan bahasa. Sehingga budaya itu tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak tergantung pada masyarakat tempat bahasa itu digunakan. (language est eminemment un fait social). Bahasa merupakan cermin budaya masyarakat pemakainya, oleh sebab itu penting sekali untuk tetap mempertahankan bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa Ibu. Hal ini sebagai upaya pelestarian budaya (termasuk tembang dolanan Jawa) sebagai aset kekayaan budaya bangsa.
Berdasarkan analisis nilai-nilai dalam tembang dolanan Jawa di atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Pertama, tembang dolanan Jawa bukan hanya lagu biasa yang berfungsi sebagai hiburan untuk dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lebih dari itu tembang dolanan merupakan karya seni yang menarik karena di dalamnya tersirat makna yang penting bagi kehidupan masyarakat.
Tembang dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius. Mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai orang lain.
Kedua, nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tembang dolanan Jawa pada dasarnya sejalan dengan sembilan pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal. Makna yang terdapat dalam tembang dolanan Jawa, itu perlu dikembangkan dalam pembentukan karakter generasi muda penerus bangsa.
Ketiga, mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa. Melalui pembelajaran Bahasa Jawa dengan materi apresiasi tembang dolanan Jawa diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang berbudaya, mandiri, mampu mengaktualisasikan diri dengan potensinya. Mengekspresikan pikiran dan perasaannya, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir kritis, berkarakter kuat, sehingga peka terhadap masalah sosial pada bangsanya.