Budaya(rebowagen.com) — Matahari semakin meninggi, dua pohon resan Asam Jawa dan pohon Beringin Bibis menaungi tempat dilangsungkannya upacara adat Besik/Nyadran telaga Saga. Tikar telah digelar, para tetua adat, tokoh masyarakat dan perangkat desa duduk sambil mengobrol, sementara para lelaki yang lain masih sibuk memasak sayuran khusus sebagai salah satu syarat ‘ubo rampe‘ kenduri. Satu persatu ibu-ibu dan anak-anak kecil kemudian datang menyusul ke telaga membawa bakul berisi nasi ‘weton‘ dan lauk pauk yang lain.
Ritual Besik telaga ini dilakukan setahun sekali pada hari Kamis Legi sebelum acara Bersih Desa/Rasul. Telaga Saga adalah sebuah telaga tua yang dikenal sangat ‘wingit‘ atau angker, berbagai cerita mistis telaga masih dipercaya oleh masyarakat sekitar hingga saat ini. Sejak jaman dulu, telaga tidak pernah kering sepanjang tahun. Airnya digunakan oleh masyarakat tiga kalurahan dan puluhan padukuhan disekitar telaga.

Sayangnya, sekitar tahun 2000, telaga Saga dibangun oleh pemerintah dengan cara dikeruk dan dindingnya dibeton. Beberapa tahun setelahnya, telaga mulai mengering di musim kemarau, masyarakat yang biasanya sangat tergantung dengan keberadaan air telaga akhirnya merasa sangat kehilangan.
“Danyange tlaga mboten seneng umpami sing masak niku wadon, kedah kakung(penunggu telaga tidak berkenan jika yang memasak itu perempuan, harus laki-laki),”
kata mbah Marno, juru kunci telaga Saga dengan logat Jawa yang kental.
Menu sayur yang dimasak para lelaki ini juga khusus, namanya ‘jangan gebrus‘ (sayur gebrus). Bahan-bahannya hanya buah Bligo (labu putih), parutan kelapa dan potongan potongan ayam yang ‘disandati‘ (direnteng dengan seutas tali bambu). Parutan kelapa juga tidak diperas menjadi santan, melainkan dimasukkan langsung ke dalam kuah.

Uniknya lagi, sebelum ‘jangan gebrus‘ ini dianggap telah matang dan ‘dipasrahke‘ (kenduri) oleh mbah kaum, maka tidak seorangpun yang boleh mencicipi rasa sayuran, tabu katanya, bahkan mbah Marno bercerita bahwa dulu pernah kejadian ada yang mencicipi rasa sayuran dan langsung bibirnya melebar hampir sampai ke telinga.
“Nggih sak rasa-rasane, sakderenge mateng mboten angsal ngicipi(ya, rasanya apa-adanya, sebelum sayur matang, tidak boleh mencicipi),” tuturnya.
Tugiran, salah satu dari puluhan lelaki yang ikut memasak menerangkan bahwa pada kesempatan Besik Telaga kali ini ada 10 ekor ayam kampung yang disembelih untuk dimasak ‘jangan gebrus‘. Kalau dulu, menurut Tugiran warga iuran untuk membeli ayam, tetapi saat ini tinggal mengambil uang kas dari masing masing RT.

“Untuk ritual disisi selatan telaga ini dilakukan oleh warga satu dusun, yaitu dusun Bareng, disisi utara ada empat dusun yang juga melaksanakan Besik Telaga, semuanya masih dalam satu wilayah Kalurahan Kemiri,” tutur Tugiran.
Bahan bahan yang akan dimasak dibawa dari rumah, ‘pawon‘ (perapian) juga dibuat mendadak, sejak pagi para lelaki ini mempersiapkan dapur darurat ditepian telaga.
Saat memasak, sambil ngobrol dan berkelakar, mereka berbagi tugas ada yang memarut kelapa, menyalakan api, atau memotong buah ‘Bligo‘ dan daging ayam. Sebagian yang lain mulai membuat dan menata ‘pincuk‘ (wadah) dari daun pisang untuk nanti dibagikan kepada semua peserta kenduri, sementara para pemuda kelihatan sibuk membuat minum untuk para tamu.
“Ibu-ibu yang datang membawa nasi dan lauk-pauk itu istilahe ‘ngirim’, atau mengantar makanan untuk kami yang memasak, nanti semua akan ‘dipasrahke’ oleh mbah kaum, dan akan dimakan bareng-bareng,” lanjut Tugiran sambil tangannya tak henti mengaduk santan yang semakin menggumpal.

Kenapa harus laki laki yang memasak, mbah Marno menjelaskan bahwa untuk hal itu tidak ada cerita atau penjelasan yang rinci, ia hanya menyatakan bahwa itu merupakan tradisi turun temurun yang telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.
“Ya, biar kaum lelaki sekali kali merasakan tugas perempuan,” ujarnya sambil terkekeh.
“Yang jelas, penunggu telaga Saga mintanya seperti itu, dan itu sudah turun-temurun, kami hanya melestarikan tradisi,” imbuh mbah Marno lagi masih dengan logat Jawa.
Ada banyak ‘penunggu gaib‘ atau yang dipercaya sebagai ‘danyang‘ di telaga Saga. Namun menurut mbah Marno pemimpinnya ada dua yang disebut sebagai ‘Mbah Lurah‘ dan ‘Mbah Carik‘ masing masing menempati pohon Bibis dan Gentungan. Sementara yang lain bermukim di pohon Wungu, Pule, Tekik(Saga), Kedoya, Pilo, Beringin dan yang lain.
Sebelum dibangun, mbah Marno bercerita bahwa dulu ada tiga tempat pertapaan di tepi telaga Saga yang berupa ceruk/gua kecil yang terdapat batu ‘amben‘ (batu lebar). Oleh pemborong yang mengerjakan pembangunan telaga, ketiganya dikeruk dengan alat berat, diambil batunya untuk membangun dinding telaga yang baru.
Matahari semakin tinggi, salah seorang laki-laki kemudian memberitahu bahwa sayur gebrus sudah matang dan siap dihidangkan. Warga kemudian berkumpul dan kenduri segera dilaksanakan. Nasi ‘weton‘ bersama lauk-pauk dikumpulkan ditengah, masing-masing yang hadir mendapat jatah satu ‘pincuk‘ atau wadah daun pisang yang berisi sayur gebrus. Setelah mbah kaum selesai mengucapkan doa-doa kenduri, nasi dan lauk segera dibagi pada wadah masing-masing dan prosesi diakhiri dengan acara makan bersama.
Dari sebelah utara telaga, dimana empat padukuhan juga mengadakan Besik Telaga, mulai terdengar suara gamelan yang mengiringi pertunjukan Ledek/Janggrung. Warga yang mengadakan ritual di sisi selatan telah selesai, mereka kemudian beramai-ramai berjalan di tepian telaga untuk melihat pertunjukan Janggrung, sebagian laki laki kemudian ikut ‘nyawer‘ bersama para penari.

“Mboten nderek nyawer mbah?(tidak ikut nyawer mbah),” saya menyapa mbah Marno yang sedang duduk berteduh dibawah pohon pisang di tepian telaga saat saya sampai di lokasi pertunjukan Janggrung.
“Walah mas, pun tuo ndak digeguyu anak putu (walah mas, sudah tua, nanti ditertawakan anak cucu),” ujar mbah Marno sambil matanya menatap ke arah telaga Saga.
Air telaga tampak keruh, hujan yang masih sering turun pada musim yang seharusnya sudah memasuki kemarau ini, membuat air telaga belum mengering.
“Niki rendeng gandok, nek biasane wayah ngeten niki to pun asat tlagane (ini kemarau basah, biasanya di musim seperti ini air sudah kering),” kata mbah Marno setengah bergumam.

Pertunjukan Janggrung semakin ramai, sementara mendung mulai tampak menggelayuti langit. Saya kemudian berpamitan kepada mbah Marno. Dalam perjalanan pulang terngiang kata- kata dari mbah Marno yang entah ditujukan untuk siapa.
“Jane tlaga Saga luwih sae sakderenge dibangun, toyane mboten nate asat(sebetulnya telaga Saga lebih bagus ketika belum dibangun, airnya tidak pernah kering),”
Mbah Marno
Selain melesarikan, penting juga untuk mengajarkan mendidik menanamkan kecintaan peninggalan leluhur kepada generasi muda, sejak dini.
Dg penuh harap kelak mereka menjadi orang yg berpikiran maju tanpa merusak lingkungannya,
Salam sukses rebowagen.com semoga semakin maju banyak pembaca,