Seni(rebowagen.com)– Kalimat diatas disampaikan oleh Guntur Susilo, warga Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Sejak tahun 2011, ia bersama Dwi Lestari istrinya, aktif menekuni dunia batik. Guntur aktif berkeliling desa-desa di Gunungkidul untuk memberikan pelatihan batik kepada masyarakat. Sampai saat ini, ia telah berhasil menciptakan 14 desain batik khas dari 14 desa dampingan. Dua buah buku tentang batik juga telah ia tulis, masing-masing ‘Kamus Batik Manding‘ yang berisi berbagai motif batik yang telah ia buat, dan ‘Batik Siberkreasi‘, buku tentang Jejaring Gerakan Cinta Batik Mahakarya Indonesia (GCBMI).
Pada agenda Pekan Climen Rebowagen kemarin, Guntur dan istrinya berkenan untuk berbagi ilmunya tentang batik dalam project kelas Sinambi Sinau.
Ia banyak bercerita tentang awal mulanya memutuskan untuk menggeluti dunia seni batik. Seni mewarnai kain berpola khusus ini memang merupakan warisan budaya adiluhung dari leluhur. Menurutnya, setiap motif atau pola yang tergambar di selembar kain itu bukan sekedar gambar tanpa makna, atau cuma sekedar hiasan saja.
“Pola-pola itu adalah simbol yang selain mengandung nilai estetika, juga sarat nilai spritualitas yang berisi doa dan harapan,”
kata Guntur.
Dimulai dari lingkungan sekitar, Guntur dan istrinya aktif menularkan ilmunya dengan memberi pelatihan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil (20-30 orang). Mereka mengajari dan mendampingi kelompok hingga benar-benar bisa berproduksi batik secara mandiri.
“Setelahnya kami terus lebih bersemangat untuk menularkannya ke desa-desa yang lain di wilayah Gunungkidul. Dari ujung timur desa Girisubo sampai ujung barat desa Krambilsawit, Kapanewon Saptosari. Dari ujung selatan desa Tepus sampai ujung utara desa Ngawen,” cerita Guntur.
Hingga di tahun 2022 ini, menurut Guntur akhirnya kurang lebih 14 desa yang sudah didampingi dan 14 motif tercipta dari upaya penggalian sejarah dari masing-masing desa tersebut.
Perjuangan ini bukan tanpa kendala, salah satu yang sering dihadapi adalah pola hidup praktis masyarakat sekarang. Hal ini membuat banyak orang yang enggan untuk mencintai dan belajar proses membatik yang butuh kesabaran dan ketekunan dalam proses pembuatannya.
“Tolok ukur banyak hal sekarang ini bukan diprosesnya, bukan ‘sapa tekun bakale tekan’, tapi diukur dari seberapa cepat akan langsung menghasilkan materi,” ungkap Guntur.
Pemikiran-pemikiran instant ini tentu bertentangan dengan proses batik yang harus telaten dan bertahap. Menurut Guntur, batik bukan sebatas sebuah upaya untuk mewujudkan selembar kain yang indah dan bernilai jual, namun lebih kepada sebuah mahakarya warisan luhur yang melambangkan keberagaman. Keanekaragaman motif batik mampu menjadi simbol yang mempersatukan segala keberagaman dan perbedaan.
“Mungkin itulah yang membuat batik menjadi karya seni yang sangat istimewa bagi saya, baik dalam proses pembuatan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa, dari mulai proses pembuatan pola, pencantingan, pemberian warna dan proses pelorotannya. Belum lagi makna dan filosofi yang terkandung hingga etika dan tata cara pemakaiannya,”
imbuhnya.
Di sisi lain, sebagai hasil kebudayaan batik juga memiliki banyak nilai tambah. Namun, sebagai pelestari seni batik, Guntur berharap teknik tradisional bersama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat bersinergi dengan kemajuan zaman. Apalagi di era sekarang dimana digital banyak menawarkan kemudahan dan nilai praktis.
“Beberapa waktu lalu, kami mendapat kunjungan dari President WCC – World Craft Council (Badan Kerajinan Dunia) UNESCO – Dr.Ghada Hijjawi Qadumi beserta rombongan dari 50 Negara untuk mengapresiasi Batik Manding Siberkreasi di Desa Kepek. Kunjungan ini sekaligus melaunching gerakan Sahabat Batik Dunia yang diinisiasi Gerakan Cinta Batik Mahakarya Indonesia (GCBMI),” pungkas Guntur.