Budaya(rebowagen com)– Karena budaya modern terus menggerus budaya tradisi, maka masyarakat Jawa mulai tidak memperhatikan busana adat yang merupakan warisan leluhurnya. Masyarakat semakin jarang mengenakan busana adat saat acara-acara sakral, seperti resepsi pengantin, kenduri, atau jagongan. Jika ada yang mengenakan, itu sebatas keluarga dari sang mempelai pengantin sebatas untuk kebutuhan dokumentasi.
Seiring berkembangnya dunia wisata dan media sosial, ada tren yang terjadi saat ini di mana busana adat mulai banyak digunakan lagi oleh warga, terutama para pelaku upacara tradisi, semisal: labuhan, grebeg, sedekah laut, rasulan dan sebagainya. Meskipun tidak dipungkiri, sangat jarang orang yang mengenakan pakaian adat memahami makna dan filosofinya. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa sudah mulai kehilangan Jawanya. Dimana memahami busana adat hanya sebatas permukaannya saja. Nah, dalam tulisan ini, saya akan sedikit membahas makna dari salah satu pakaian adat jawa yaitu Surjan, dengan mengambil beberapa referensi dari para ahli adat dan budaya.
Filsafat ‘pengagem takwa‘ (surjan)
Sesungguhnya, pakaian adat yang disebut Surjan mempunyai makna filsafat tentang jati diri masyarakat Jawa. Secara harfiah, filosofi berakar dari kata filsafat. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani, yang memiliki pengertian cinta kearifan. Menurut Sri Sultan Hamengkubuwana X, filsafat dimaknai sebagai hasil perenungan jiwa manusia melalui pandangan reflektif yang mendasar, mendalam, dan menyeluruh sebagai pandangan hidup manusia. Sementara, Rama Zoetmulder mengatakan bahwa filsafat merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan.
Pakaian, dalam makna budaya menjadi identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik seseorang. Liliweri dalam bukunya (2009) mengatakan bahwa identitas sosial terbentuk oleh identitas budaya.
“Perilaku budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh, nada suara, cara berpidato, pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri khas seseorang yang tidak dimiliki oleh orang lain”
(Liliweri, 2009: 97).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pakaian dapat menjadi identitas sosial dan budaya dari suatu daerah tertentu, yang berbeda dengan daerah lainnya. Pakaian dalam bahasa jawa disebut dengan ‘pengageman’. Pakaian yang melekat di badan adalah simbol identitas budaya yang dalam sekali maknanya, di samping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal, makanan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi.
Di zaman modern, tanpa disadari, pakaian yang banyak kita kenakan saat ini telah jauh dari akar tradisi, dan menjauhkan orang Jawa dari jati diri mereka. Oleh karena itu perlu bagi masyarakat untuk mengenal sejarah maupun makna filosofis pakaian tradisional. Dalam hal ini akan diuraikan informasi-informasi mengenai ‘pengageman takwa‘ atau surjan.
Filsafat Jawa yang titik perhatiannya pada dunia spiritual itu adalah sebagai pembeda dengan filsafat barat. Karenanya, filsafat jawa selalu menekankan perihal ‘sangkan paraning dumadi‘ (asal kehidupan), di mana Tuhan sebagai asal dan tujuan dari kehidupan manusia. Berangkat dari pemahaman inilah, manusia kemudian menempuh jalan filsafat dengan sepenuh lahir dan batin.
Dari uraian di muka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa filsafat Jawa cenderung berpusar pada wilayah metafisika yang niscaya mempersoalkan eksistensi Dzat tertinggi. Dzat yang sangat menentukan suatu proses perubahan, semisal: keberadaan manusia yang dimulai dari alam kandungan, kemudian lahir, berkembang menjadi dewasa (tua), dan berakibat mati.
Sejarah Pakaian Adat Jawa Surjan
‘Pengageman takwa‘ atau surjan sebagai pakaian adat Jawa dibuat oleh Sunan Kalijaga (satu dari sembilan Wali Sanga, penyebar Islam di tanah Jawa), berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat di atas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini.
Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan perihal pakaian yang perlu diatur kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’, sedang PB III mengatakan belum siap. Lalu Mangkubumi memperlihatkan rencana pakaian tersebut dan mengatakan jika dikehendaki dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat.
PB III setuju sambil menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman takwa dari Mataram yang sudah ada.
Pakaian takwa sering disebut ‘Surjan‘ (sirajan) yang berarti ‘pepadhang‘ atau pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan negara dan punggawa kerajaan memiliki jiwa dan watak satria. Watak ini tidak akan lepas dari sifat-sifat ‘nyawiji‘, bertekad golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia.
Sifat ‘greget‘ (tegas bersemangat), ‘sengguh’ (percaya diri penuh jati/harga diri) dan sifat ‘ora mingkuh‘ (tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban) adalah sifat dasar dari figur satria Ngayogyakarta. Sifat-sifat yang ideal ini semakin ditegaskan dengan ‘pengageman takwa‘. Bentuk pakaian takwa (surjan) adalah, lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6), dua kancing di dada kanan kiri, tiga buah kancing tertutup.
Dalam perkembangannya, pihak Keraton Yogyakarta membuat ‘Surjan Ontrokusuma‘ yang bermotif bunga (kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukanlah kain polos ataupun lurik buatan dalam negeri. Namun untuk ‘Surjan Ontrokusuma‘ terbuat dari kain sutra bermotif hiasan berbagai macam bunga. ‘Surjan Ontrokusuma‘ ini hanya khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram. Ketika dalam lingkungan Keraton baju ini hanya boleh dipakai oleh Sri Sultan saja ataupun oleh Pangeran Putra Dalem itupun atas perintah dari Sri Sultan sendiri.
Filosofi Surjan
Surjan menurut KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura, bangsawan Keraton Yogyakarta berasal dari istilah ‘sira‘ dan ‘jan‘ yang berarti pelita atau yang memberi terang. Surjan juga disebut pakaian takwa. Oleh karena itu di dalam pakaian itu terkandung makna-makna filosofi yang cukup dalam, di antaranya bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman.
Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-kitab, iman kepada Utusan Allah, iman kepada Hari Kiamat, iman kepada Takdir. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah dan Wa Ashaduanna Muhammada Rasulullah.
Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar. Hal ini menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu ‘aluamah‘, ‘amarah‘, dan ‘supiyah‘. Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 lazim berkaitan dengan rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) dan juga lima priyagung dalam Islam yakni Nabi Muhammad, kanjeng Sayidina Ngali, Gusti Sri Ayu Patimah, Gusti Bagus Kasan, dan Gusti Bagus Kusen (penamaan berdasar pengucapan logat Jawa).
Jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam. Pakaian takwa ini di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta hanya diperkenankan dipakai oleh raja (sultan) dan para pangeran putra raja saja.
Selain itu, ada pula pakaian takwa yang dikhususkan untuk putri yang biasanya dikenakan oleh ‘abdi dalem putri‘, para ‘wiyaga‘ (penabuh gamelan), dan para ‘sinden‘ serta ‘abdi keparak‘ sesuai dengan perintah dan tatacara yang diperkenankan oleh keraton. Baju takwa untuk putri ini berwarna hitam dan sering disebut sebagai “ageman janggan’.
‘Ageman janggan‘ memiliki warna dasar hitam, warna hitam adalah simbol ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman. Yakni sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa. Sedangkan ‘janggan‘ artinya bunga tumbuhan ‘gadhung‘ atau ‘kembang gadhung‘. Simbol tersebut hendak melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan keraton dan perempuan perempuan jawa pada umumnya.
Sedangkan pakaian takwa untuk para keturunan, ‘kadang‘, saudara, ‘prepat‘ (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan disebut dengan ‘Pengageman pranakan‘. ‘Pengageman pranakan‘ adalah surjan yang mirip dengan kaos berkerah dalam hal cara mengenakannya. Dinamakan ‘pranakan‘ karena ketika mengenakannya, seseorang seperti keluar dari rahim seorang ibu. ‘pranakan‘ artinya ‘wadhah bayi‘ atau rahim ibu. Jadi, para abdi yang mengenakannya, layaknya seorang yang suci, murni, dan fitrah.
‘Pranakan‘ juga berarti ‘prepat‘, ‘punakawan‘ atau ‘abdi‘ yang dekat dengan hati. Hal ini dilukiskan dengan jenis lurik yang digunakan bergaris ¾ atau ‘telu-papat‘ diringkas menjadi ‘telupat‘. Hal tersebut memiliki makna ‘kewelu minangka prepat‘, yang berarti ‘rinengkuh dados kadhang ing antawisipun abdi dalem setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan‘ .
Warna pakaian ‘pranakan‘ adalah biru tua, yang berarti sangat dalam seperti warna birunya laut dalam, susah diduga, tak bisa dianggap remeh dan tidak sembarangan juga mengacu kepada kedalaman dan kekhusyukan hati. Baju ‘pranakan‘ ini memiliki bentuk pada leher terdapat tiga pasang kancing berjumlah 6 buah perlambang rukun iman, juga disebut model ‘belah banten‘. Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 seperti ini lazim berkaitan dengan rukun Islam.
Proses seseorang mengenakan ‘pengageman pranakan‘ digambarkan seakan si pemakai masuk ke dalam rahim ibu, lubang ‘pranakan‘ di mana tiap manusia pernah menghuni dengan aman dan nyaman sebelum dilahirkan. Bayi yang di dalam rahim secara alamiah tinggal adalah sandi cinta kasih golong-gilig .
‘Pranakan‘ adalah juga pakaian untuk para ‘penggawa keraton‘ dengan corak dan model sama. Hal ini mencerminkan adanya demokratisasi di Ngayogyakarta Hadiningrat.
Senada dengan yang telah dijelaskan KRT Jatiningrat, KRT Rinta Iswara atau biasa dipanggil dengan Romo Rinta, sejarawan dan juga sebagai wakil dari Pengageng Widya Budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjelaskan, makna-makna yang terkandung dalam selembar surjan.
Surjan merupakan sebuah ‘pengageman takwa‘ (libasut taqwa), sebuah pakaian rohani yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga (abad 16 M). Surjan mengacu kepada kata Arab yang terdiri dari aksara sa-ra-ja yang membentuk kata-kata Arab yang terdiri dari aksara sa-ra-ja yang membentuk kata-kata: surojan, sirojun, saraja, atau sarjan. Kata-kata itu terkait dengan assaraju (jamak: surujan) muniru yang artinya pelita bercahaya penerangan jalan (suluk). Enam buah kancing di bagian leher mengacu kepada rukun Iman: Iman kepada Allah, Malaikat, Kitabullah, Rasulullah, Hari Kiamat, dan takdir. Dua kancing di dada kanan kiri mengacu kepada syahadatain (sekaten) atau dua kalimat syahadat.
Tiga kancing bagian dada yang tertutup dan tak terlihat dari luar mengacu kepada 3 macam nafsu yang harus dikendalikan oleh seorang hamba Allah. Yakni nafsu Aluamah, Amarah, dan Supiyah . Kedua lengan panjangnya kanan kiri berkancing 5 buah lambang Rukun Islam dan mengacu kepada sifat teguh dan kukuh, yang tidak mudah terombang-ambing. Dahulu, yang diperkenankan mengenakan pengageman takwa ini hanya Sri Sultan dan para Pangeran Putra Dalem saja.
Menurut K.M.T. Sukarno Broto, Abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baju pranakan untuk abdi warna pakaiannya biru tua dengan motif garis-garis, kancing baju dan lengan sama seperti surjan (pakaian takwa) maknanya yaitu mengenai ke-Islaman. Tidak semua abdi dalem mengerti makna baju takwa (pengageman takwa). Baju abdi dalem dahulu tidak diberikan oleh Keraton melainkan membuat sendiri sesuai pakem yang di berikan Keraton, namun saat ini baju abdi dalem semuanya diberikan sehingga semuanya sama.
Abdi dalem dibagi menjadi dua. Abdi dalem punokawan dan abdi dalem keprajanan. Abdi dalem keprajanan ini mayoritas berasal dari kalangan PNS, akademisi, profesi dan sebagainya.
Menanggapi hal tersebut Romo Rinta, mengatakan bahwa saat ini setiap sebulan sekali diadakan pendidikan kilat untuk para abdi dalem Keraton. Nantinya mereka akan diberitahu makna dari pakaian (pengageman), cara menggunakannya, sejarah, filosofi, sehingga baju yang digunakan tidak hanya melekat pada tubuh mereka namun juga diresapi sebagai pengingat tingkah laku yang berbudi luhur.
Pakaian Surjan saat ini
Dalam perkembangan zaman, surjan saat ini digunakan sebagai fashion pada masyarakat umum. Dipakai oleh anak-anak, remaja, dan dewasa. Surjan sering dipadu-padankan dengan bawahan celana jeans. Surjan lurik dipakai dengan kancing terbuka lalu menggunakan kaos di dalamnya. Motif surjan lurik juga digunakan untuk bahan kain tas, dompet, dan sebagainya. Motif baju surjan lurik saat ini banyak dijual terutama di kota Yogyakarta. Motif surjan lurik untuk masyarakat umum berbeda dengan yang digunakan oleh keraton. Warna kainnya lebih beragam dan garisnya lebih lebar.
Namun Ketika ada motif-motif surjan yang berkembang di masyarakat digunakan untuk tas, dompet dan sebagainya Romo Tirun (bangsawan Keraton Yogyakarta) tidak setuju dengan hal tersebut. Menurutnya, hal tersebut akan merubah (menghilangkan) makna dan filosofi dari surjan itu sendiri. Bahkan ‘pengageman‘ surjan jika sudah diberi penyangga pundak yang kaku seperti jas itu sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai surjan, karena menurut beliau itu diadaptasi seperti jas yang kaku, mengacu pada budaya Eropa bukan budaya jawa.
Romo Tirun mengatakan bahwa nilai-nilai luhur yang dapat diangkat dari pakaian takwa tersebut adalah ketakwaan, persatuan dan kesatuan yang intinya ‘golong gilik‘ golong artinya bulat tidak bersudut gilik artinya silindris memanjang (tanpa sudut) yang mengandung arti persatuan dan kesatuan yang tanpa syarat yang menyatu, satu antara yang lain menyatu antara alam, sesama makhluk dan Tuhannya.
Harapan para Sunan untuk masyarakat agar mampu menciptakan demokratisasi memiliki bahasa yang satu yaitu bahasa ‘kedaton‘ atau bahasa ‘bagongan‘ dengan tujuan disamakan satu dengan yang lain. Begitu pula Sultan dengan Abdi Dalem seperti saudara bukan seperti Raja dengan pembantu rumah tangga, tidak dipandang sebagai orang lain melainkan bersaudara dengan Sultan.
Menurut Rama Tirun, hal tersebut dicetuskan dengan membuat pakaian yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Intinya adalah gotong royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ini adalah gambaran Pancasila 5 sila diperas menjadi 3, Sosio demokrasi, Sosio nasionalisme, dan Ketuhanan yang Maha Esa. Dari 3 sila itu menjadi 1 yaitu Eka Sila yaitu gotong royong. Inti daripada Pancasila adalah gotong royong, musyawarah utuk mufakat, budaya ‘rembugan‘ musyawarah mufakat itu berembuk bersama bukan secara voting.
Demikian sedikit pemahaman tentang ‘pengagem takwa‘ atau surjan. Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dari falsafah baju takwa adalah Pancasila. Salah satu pratanda keistimewaan yang ada di Yogyakarta. Dari pakaian sampai dengan perilaku, hubungan antar manusia, Tuhannya, dan dengan alam semesta.