Di tengah budaya masyarakat Gunungkidul, kita mengenal istilah ‘Gugur gunung’, ‘sambatan’, ‘kelompokan’ atau ‘rewangan’. Kegiatan ini adalah kerja bersama seluruh warga untuk saling bahu-membahu. Pekerjaan berat tentu akan terasa lebih ringan dan akan cepat selesai jika dikerjakan bersama. Sifat gotong royong dan musyawarah adalah modal utama masyarakat sebagai bentuk interaksi dan kohesi sosial. Guyup rukun, tolong menolong dan kebersamaan menjadi ruh dari perikehidupan masyarakat desa
Kearifan lokal(rebowagen com)– Sumber air dibawah pohon Jambu Klampok itu sudah puluhan tahun hampir tak pernah dijamah manusia. Lokasinya tertutup semak belukar. Sangat jarang warga yang masuk dalam kawasan ini. Tempat sumber air itu oleh masyarakat di kenal sebagai tanah ‘gatel’ atau angker. Kyai Sampar Angkling disebut sebagai makhluk ghaib penunggunya.
“Mbah Sampar Angkling menika lelembut ingkang nunggoni. Mapanipun wonten ing wit Klampok Senenge angkling-angkling wonten ing pang uwit (Mbah Sampar Angkling itu makhluk ghaib penunggu. Rumahnya di pohon Jambu Klampok. Kegemarannya duduk ongkang kaki di dahan pohon),” kata Mbah Sarto Suwito, orang tua yang dianggap sebagai juru kunci.
Agak terlambat saya datang pagi itu. Saat sampai lokasi, puluhan warga dan teman-teman Resan Gunungkidul tampak sudah bekerja dan berkeringat. Lokasi yang kemarin saya survey masih penuh belukar ‘rungkut’ (lebat), sekarang sudah terbuka. Mr. Flow, teman dari Jerman yang janjian akan membuat film dokumenter juga sudah datang dan mengambil gambar bersama krunya. Sebelum agenda, saya memang sempat dikontak oleh kru Mr. Flow. Ia ingin ikut kegiatan Resan Gunungkidul untuk membuat film dokumenter tentang ritual budaya yang dilakukan masyarakat Gunungkidul, khususnya ritua menjaga dan merawat sumber mata air. Kata Mr. Flow di negara asalnya, sekarang ini budaya lokal terkait menjaga alam juga sudah mulai terkikis banyak hal.
“Tangi awan ta? (bangun kesiangan ya?),” sapa Yatno, Dukuh Padukuhan Ngimbang. Suyatno adalah kawan lama yang ketika bertemu kembali sudah menjadi seorang dukuh di dusun asalnya.
“Kemarin saya umumkan untuk semua warga agar berangkat kerja bakti. Yang laki-laki kerja di sini, sebagian ibu-ibu memasak di tempat Pak Carik,” lanjut Yatno.
Saya kemudian melihat, lebih dari 50 orang warga yang ikut ‘gugur gunung’ membersihkan lokasi sumber Sampar Angkling. Tua, muda dengan alat dan senjata masing-masing tampak bekerja merambas belukar. Sambil bekerja, seloroh dan guyonan menghiasi pagi itu. Suasana menjadi gayeng dan hangat. Kehadiran Mr. Flow dan kru juga lebih menyemarakkan suasana. Kendati ada penterjemah, kendala komunikasi sering menjadi bahan guyonan yang menjadikan lelucon tersendiri.
Sumber Sampar Angkling berada di Padukuhan Ngimbang, Kalurahan Watusigar, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Dari cerita warga, kawasan ini dulunya sebagai tempat ‘angon kebo’ (menggembala kerbau). Beberapa yang sudah berumur tua mengenang bahwa di masa muda mereka, di tempat ini memang ada sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering.
‘Riyin toyane bening, mriki niki kathah iwake kuthuk kalih gatheng (Dulu airnya bening, tempat ini banyak ikan gabus dan sidat),” cerita Mbah Sarto.
“Untuk status tanah ini milik sultan, luasnya memanjang, jika ditotal ada hampir 5 hektar. Setelah perjanjian Giyanti, Keraton Mataram di bagi dua. Nah, wilayah ini dulunya masuk dalam bagian Kasunanan Surakarta,” terang Karsimin, Carik Kalurahan Watusigar.
Karsimin menambahkan, di sebelah timur lokasi ini ada sebuah mata air yang disebut Sendang Ngimbang. Jaraknya hanya sekitar 50 meter, berada di pinggir jalan. Dulu, Sendang Ngimbang menjadi sumber air utama. Namun saat ini sumber air kering. Pada akhirnya, pemerintah kalurahan mengupayakan pengeboran untuk mendapat sumber air bagi masyarakat. Cerita Karsimin, di seluruh Kalurahan Watusigar ada 11 titik sumur bor yang digunakan untuk sarana penyediaan air bersih masyarakat (Spamdus). Upaya ini menjadi sering terkendala saat musim kemarau, dimana sumur-sumur bor ini debit airnya tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat.
“Saat ini kami telah memprogramkan Desa Konservasi. Kami harus mengupayakan perawatan daerah tangkapan air hujan dan sepanjang DAS Sungai Oya untuk mensuplai cadangan air tanah. Termasuk normalisasi atau merawat kembali sumber- sumber air seperti agenda hari ini ,” lanjut Pak Carik.
Hasil kerja ‘gugur gunung’ yang melibatkan banyak warga ini akhirnya mulai tampak. Dalam waktu tidak terlalu lama, lokasi Sumber Sampar Angkling telah bersih dari belukar. Dengan sisa ingatannya, Mbah Sarto kemudian menunjukkan titik yang dulu menjadi lokasi sumber air. Tepat dibawah pohon jambu klampok yang dianggap paling tua. Seorang teman Resan dan warga juga mempraktekkan deteksi titik sumber air dengan alat sederhana. Alat itu berupa bilah bambu tipis yang di lengkungkan dan ranting pohon jambu bercabang. Kedua metode sederhana itu hasilnya menunjuk pada titik yang sama. Persis yang telah ditunjuk oleh Mbah Sarto.
“Lha nek seket tahun nggih pun luwih, ket jaman kula enom riyen. Bar niku gek pun ilang mergi kekuruk, ning kelingan kula nggih nggen mriki niki (kalau 50 tahun ya sudah lebih. Sejak jaman saya muda, setelah itu teruruk dan hilang. Tapi seingat saya titiknya ya disini),” ujar Mbah Sarto yakin sambil menancapkan sebatang ranting di lokasi yang dia tunjuk.
Pekerjaan dilanjutkan, setelah di ‘syarati’ dengan beberapa ‘ubarampe’, penggalian sumber air Sampar Angkling kemudian dimulai. Tanah bagian atas sangat sulit ditembus dengan cangkul. Keras dan banyak sekali akar-akar tumbuhan. Sampah berupa kain dan plastik juga sudah menjadi satu dengan tanah. Secara bergiliran warga bergantian menggali, hingga akhirnya cangkul beradu dengan batu keras. Ternyata, tak hanya sampah dan tanah yang menguruk sumber, namun batu-batu berbagai ukuran juga terbawa banjir dan ikut menimbun.
Hingga pada akhirnya, pada kedalaman satu meter lebih sedikit, linggis yang dipakai oleh salah seorang warga menembus lumpur bercampur air.
“Niki pun angsal toya (ini sudah dapat air),” seru seorang warga. Spontan semua mengerubungi lokasi galian.
Dan memang benar, lumpur yang dikeruk sudah bercampur dengan air. Kami kemudian semakin bersemangat untuk menggali. Ada seorang warga bernama Sukarman. Dengan tubuh yang liat dan kekar, lelaki berumur mendekati 50 tahun itu benar-benar menunjukkan kekuatannya. Pak De Parman begitu kami memanggilnya. Satu demi satu batu dinaikkan. Yang terlalu besar ia pecah dengan linggis, betel dan bodem.
“Pak De Parman adalah tukang pecah batu handal, kita tinggal menyemangati saja, nanti semua bisa selesai,” seloroh seorang warga. Dan itu diamini oleh yang lain. Pak De Karman dan adiknya tampak begitu ahli dalam menggali. Tubuhnya hitam, otot-ototnya liat dan menonjol.
Ibu-ibu yang datang membawa bakul-bakul berisi makan siang. Pak Carik segera mengajak kami beristirahat untuk makan. Sayur ‘lombok ijo’, ‘gudangan’, tempe serta telur menjadi menu makan siang kami. Sekali lagi kehadiran Mr. flow menjadi daya tarik bagi ibu-ibu. Banyak dari mereka yang meminta foto bersama. Setelah makan siang, diadakan upacara ‘langse’. Dua pohon yang hari itu dilangse, Jambu Klampok dan pohon Bulu yang akar-akarnya berbentuk seperti tugu Lar Badak. Asap dupa terbang bersama angin, mengiringi do’a-do’a dari yang hadir, agar sumber air sampar Angkling bisa kembaki lestari dan bermanfaat.
‘Ubarampe menika namung srana, kita sedaya mboten nyenyuwun utawi nyembah dumateng kayu napa watu, ananging mligi dumateng Gusti Ingkang Maha Kuwaos (semua ini hanya sarana. Kita semua tidak meminta atau menyembah kayu atau batu. Tapi hanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa),” kata Mbah Sarto sebelum memulai ritual.
Pekerjaan menggali kembali dilakukan, sekitar jam 2 siang, air semakin deras mengucur dari celah-celah batu. Dari arah pojokan sebelah utara, ada sebuah lubang batu yang mengeluarkan air dengan sangat deras. Karena usaha ‘nawu’ atau mengeluarkan air dari kubangan sudah tidak mampu lagi, maka pekerjaan akhirnya dihentikan untuk sementara.
“Alhamdulillah, akhirnya sumber kembali hidup. Kerja bakti akan kita teruskan besok, dengan digilir per RT. Ada banyak yang harus ditata ulang, terutama batu-batu ini agar sendang tak lagi teruruk,” kata Pak Carik sambil mengajak kami untuk berisitirahat.
“Besok saya bisa langsung menyalurkan air ini ke rumah, tidak usah memakai mesin pompa,” ujar seorang warga bernama Supardi girang. Rumah Supardi memang terletak agak di bawah lokasi sumber air.
Sebelum pulang, saya sempatkan menengok kembali mata air Sampar Angkling. Tampak sisa-sisa kotoran daun kering dan serpihan-serpihan kayu berputar perlahan mengikuti arus air yang terus bertambah. Ini adalah sumber air ke 11 yang telah kami gali. Keadaan awal hampir sama. Tertutup, terbengkelai dan tidak dirawat. Saya kemudian berpikir, ada ratusan sumber air yang bernasib sama di Gunungkidul. Jika kesadaran untuk kembali merawat anugerah seperti ini kembali muncul di masyarakat, apakah stigma Gunungkidul kekurangan air masih pantas disandang Kabupaten Gunungkidul?.