Sosial(rebowagen.com)– Dalam budaya Jawa dan Bali, dikenal suatu kesenian musik yang disebut ‘karawitan‘. Orkestra musik tradisional ini melibatkan banyak sekali ‘wiyaga/pengrawit‘ (penabuh) dalam pementasannya. Karawitan digunakan untuk mengiringi berbagai pentas seni pertunjukan. Misal, wayang kulit, kethoprak, tari-tarian ataupun ritual adat dan budaya.
Karawitan merupakan seni suara yang bertangga nada ‘slendro‘ dan ‘pelog‘. Berasal dari bahasa Jawa ‘rawit‘ yang berarti halus dan lembut. Jadi bisa diartikan ‘karawitan‘ adalah kelembutan perasaan yang terkandung dalam seni gamelan.
Gamelan sebagai ‘pengiring karawitan’ merupakan produk budaya adiluhung warisan leluhur. Pada masing-masing bentuknya, mempunyai nama dan menghasilkan bunyi tertentu. Tak sebatas itu, gamelan juga mempunyai filosofi pembelajaran dan makna tentang hidup yang dalam. Diajarkan melalui ‘gending‘ (lagu) yang berjumlah sangat banyak dan bervariasi.
Salah satu komponen ‘gamelan karawitan‘ adalah alat musik ‘kendhang‘. Alat ini terbuat dari kayu berongga, yang pada ujungnya ditutup dengan membran dari kulit. Cara memainkannya dengan dipukul memakai telapak tangan, sehingga menghasilkan bunyi dengan ritme dan irama tertentu.
Fungsi kendhang, dalam orkestra ‘karawitan’ sangat penting dan mendasar. Sang penabuh kendhang dengan ritmenya, harus bisa menjadi pengendali/pengatur ‘gending‘ secara keseluruhan. Irama kendhang inilah yang menjaga kestabilan dari ‘gending‘ yang sedang dimainkan, sehingga tercipta harmonisasi antar elemen gamelan dan penabuhnya.
Patung Pengendhang
Patung Pengendang (Patung Kendhang) terletak di simpang lima (proliman) Siyono, tepatnya di Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen, Gunungkidul. Patung ini diresmikan pada tanggal 24 Januari 2019, oleh Bupati Gunungkidul yang menjabat waktu itu, yakni Hj. Badingah.
Saat peresmian, Patung Pengendang ini diharapkan menjadi salah satu ikon dari Gunungkidul. Masyarakat juga mengkaitkan keberadaan patung ini sebagai penanda terhadap Almarhum Manthous, maestro seni Campur Sari dari Kapanewon Playen. Karya-karya Sang Maestro memang melegenda, menginspirasi banyak seniman lain untuk menciptakan kreativitas karya berinduk pada seni Campur Sari.
Manthous mampu membawa Campur Sari yang notabene berakar dari seni tradisional menjadi musik yang digemari banyak kalangan. Campur Sari juga membidani lahirnya musik tradisional bergenre ‘kekinian’ yang tenar di kalangan anak-anak muda zaman sekarang.
Keberadaan Patung Kendhang juga dianggap menjadi simbol masyarakat Gunungkidul yang terkenal kaya akan seni dan adat tradisi. Modal sosial yang diharapkan mampu mendukung pembangunan wisata dan pengembangan ekonomi secara umum.
Polemik penggantian Patung Kendhang dengan Tobong Gamping
Bupati yang menjabat sekarang, H. Sunaryanta memprogramkan pembangunan penataan wajah kota. Penataan kawasan ini meliputi pembangunan trotoar sebagai sarana ‘pedestrian‘, sampai kawasan alun-alun Kota Wonosari yang akan dirombak dan ditata ulang. Program ini menjadi salah satu bagian dari proyek strategis daerah termasuk pembangunan gedung baru kantor DPRD Gunungkidul.
Selain pembangunan jalur ‘pedestrian‘, salah satu item yang lain adalah ikon Patung Kendhang diganti dengan Patung Tugu Tobong Gamping. Bupati Sunaryanta menyampaikan, bahwa Tobong Gamping dulu merupakan salah satu mata pencaharian sebagian masyarakat Gunungkidul. Nilai sejarah ini yang menjadikan alasan keberadaanya perlu dilestarikan dalam wujud ikon.
Rencana ini sejak dipublikasikan langsung menuai kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat. Warga, aktivis, seniman, bahkan sampai DPRD Gunungkidul menyatakan penolakan terhadap rencana ini. Berbagai aksi dilakukan, mulai dari audensi, teatrikal, hingga aksi bentang spanduk sebagai bentuk penyampaian aspirasi.
Berbagai pihak yang menolak mengemukakan beberapa alasan, diantaranya, Patung Kendhang sudah pas berada di Bundaran Siyono. Ikon ini dianggap sudah cukup mempresentasikan Gunungkidul secara luas. Argumentasi yang lain, pembangunan Patung Tobong Gamping dianggap merupakan bentuk ‘legalitas’ terhadap penambangan dan eksploitasi alam terutama kawasan karst di Gunungkidul.
“Lha sudah pas banget ta mas, Patung Pengendhang adalah simbol dari seni dan tradisi di Gunungkidul. Juga ada Almarhum Manthous dengan Campur Sari. Saya rasa keberadaan patung ini sudah pas berada di sini,” ujar salah seorang warga yang rumahnya tak jauh dari bundaran, ia tak mau disebut identitasnya.
Salah seorang warga yang lain sempat menyampaikan, bahwa sebagai warga, ia pribadi merasa sangat keberatan jika patung diganti. Simbol pengendhang menurutnya mempunyai filosofi tertentu bukan hanya sekedar wujud sebuah patung.
“Justru seharusnya, pemerintah memikirkan untuk perawatannya, lha wong patung itu juga jarang dirawat, sehingga catnya luntur. Lha malah bagus, kalau Patung Pengendhang itu ukurannya dibesarkan dan ditinggikan. Atau materialnya diganti lebih bagus, dari kuningan atau perunggu misalnya. Kami sebetulnya sudah ‘seneng lan marem’ (senang dan puas) dengan keberadaan patung ini. ‘Lha nek ajeng diganti tobong gamping, niku gek artine napa’ (lha kalau mau diganti tobong gamping itu, terus mempunyai makna apa),” ujarnya panjang lebar setengah menggerutu.
Terlepas dari segala protes dan keberatan yang muncul, mereka juga merasa tidak akan berpengaruh terhadap keputusan pemerintah.
“Nggih, gur pendapate wong cilik mas, mboten kangge (ya, cuma pendapat rakyat kecil mas, tidak berpengaruh)” imbuhnya.
Sosialisasi pengerjaan proyek telah dilakukan pada Kamis (22/9/2022) kemarin. Dalam agenda ini Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP) Gunungkidul menghadirkan berbagai pihak yang bersinggungan langsung dengan proyek ini. Termasuk pihak pemborong, yakni CV. Cipto Wening.
Pada kesempatan ini, Lurah Kalurahan Logandeng, Suhardi, bahkan sempat menyampaikan permintaan maaf secara terbuka untuk masyarakat Logandeng. Ia sebagai lurah merasa telah gagal memperjuangkan aspirasi masyarakatnya terkait keberatan pembongkaran patung.
“Sebagai lurah, saya selalu dicecar oleh masyarakat. Dikira, kami pihak desa tidak memperjuangkan aspirasi pendapat terhadap keberatan pembongkaran patung. Lha kalau seperti ini kan sudah jelas, saya pribadi sebagai lurah menyampaikan permohonan maaf untuk seluruh masyarakat Logandeng, saya sudah memperjuangkan dengan maksimal, namun keputusan berada pada birokrasi yang lebih tinggi,”
kata Suhardi, di depan dukuh-dukuh, RW, RT dan tokoh masyarakat Logandeng yang hadir pada acara tersebut.
Lurah Kalurahan Kepek, Bambang Setyawan menyampaikan keberatan senada. Ia menyebut tentang keberadaan Tugu Lar Badak di perbatasan wilayah Wonosari dan Playen. Ia meminta agar tugu tidak dihilangkan, jika terpaksa harus terkena pembangunan trotoar, Tugu Lar Badak ini harus dibangun kembali sesuai bentuk semula, sokur-sokur bentuknya diperbesar.
“Program seperti ini, kadang pihak desa sering menjadi korban. Tahu-tahu menerima program, tanpa ada sosialisasi terlebih dulu. Contoh Patung Sapi di Padukuhan Sumbermulyo, Kepek. Tiba-tiba Patung Sapi yang sudah menjadi ikon wilayah tersebut diganti dengan patung sapi ‘ngebrok, ndekem’ (posisi sapi tidak berdiri). Saya yang menjabat lurah, diprotes oleh masyarakat, karena filosofi ikon menjadi berbeda. Tolong, kalau mau membangun agar jangan melupakan nilai filosofi dan historinya,” ujar Bambang bersemangat.
Berbagai keberatan ini tidak menyurutkan keputusan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk tetap membangun ikon berbentuk Tugu Tobong Gamping. Disampaikan oleh Irawan Jatmiko, Kepala Dinas DPUPRKP, bahwa pemilihan bentuk Tugu Tobong Gamping sudah melalui kajian dan pertimbangan.
“Tobong gamping merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat Gunungkidul. Dalam proses pembuatan gamping, batu dibakar agar mempunyai nilai lebih. Ini bisa dimaknai bahwa kerja keras masyarakat Gunungkidul akan membawa peningkatan taraf hidup,”
kata Irawan Jatmiko.
Ia menambahkan, Patung Pengendang tidak akan dihilangkan, tapi dipindah dari Bundaran Siyono ke depan Pasar Sumber Rejeki di Kalurahan Playen.
Masih menurut Irawan, Ide patung kendang itu dulu dari dirinya, waktu itu ia masih menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkunga Hidup Kabupaten Gunungkidul. Pembangunan itu masuk dalam program Ruang Tebuka Hijau (RTH), termasuk Tugu Selamat Datang Gunungkidul di Patuk dan Patung Penthul di kawasan Pedhotan, Patuk.
“Pas pembangunan Patung Kendhang, saya sudah dipindah ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (DPMPT). Desain bentuknya dulu tidak duduk bersila seperti itu, tapi lebih atraktif, menurut saya, pose seperti itu kurang estetik. Dan harus diingat, Patung Kendhang tidak untuk mewakili atau mempresentasikan pada seorang tokoh atau seniman tertentu. Jadi tidak masalah kalau patung dipindah,” terang Irawan Jatmiko.
Terlepas dengan segala polemik yang menyertai, pembangunan ikon Patung Tobong Gamping di Buderan Siyono akan segera dilaksanakan. Untuk menentukan Ikon bagi suatu daerah memang tidak mudah. Apalagi ikon itu akan diwujudkan dalam bentuk karya monumental publik. Untuk menentukannya, membutuhkan pembahasan dari semua unsur masyarakat. Musyawarah dan berembuk bareng dengan beragam argumentasi, tentu bisa mencapai mufakat, paling tidak mendekati dari tujuan yang akan dicapai.
Yang jelas, Patung Pengendhang di Bundaran Siyono yang belum genap berusia 4 tahun sebentar lagi akan berpindah tempat. Filosofi keberadaannya dulu sebagai pengatur arah di ‘proliman‘ (simpang lima), akan diganti dengan bentuk bangunan tobong gamping.
Mengenang Sang Pengendhang, saya tiba tiba ingat obrolan dengan Sulis Bronjong. Ia adalah salah seorang seniman ‘wiyaga‘ (penabuh) yang juga seorang dalang wayang kulit Gunungkidul. Menurut Sulis, kendhang adalah ‘jarwa dhosok‘ yang mempunyai arti ‘kendhalining angga‘ (mengatur anggota tubuh).
Maka ilmu karawitan memposisikan kendhang sebagai pengendali irama atau yang mengatur irama. Dalam karawitan ada dua ‘laras’ yaitu ‘slendro’ (bumi) dan ‘pelog‘ (langit). Ada juga ‘pathet nem’ (lahir), ‘pathet sanga‘ (manten/menikah), ‘pathet manyura‘ (mati).
“Filosofi kendhang adalah rasa dan ‘pangrasa’, sebagai pengikat lahir dan batin di dalam jasad dan ruh. Dalam mengendalikan ‘anasir’ (nafsu) 4 perkara harus ‘sak madya’ (pas), tidak boleh kurang dan lebih. Intinya bagaimana menjaga kestabilan atau keseimbangan,”
kata Sulis.
Sebetulnya di dalam gamelan keseluruhan, sudah mencerminkan kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan. Hal ini dapat dilihat dari ‘organologi‘ gamelan yang dibagi menjadi golongan ‘pencon‘ (bonang, penembung, bonang barung, bonang penerus, kethuk, kenong, kempyang, kempul ,gong). Yang kedua golongan ‘bilah‘ (demung, saron ricik, saron peking,gender barung, gender penerus, slenthem, gambang). Yang ketiga adalah kawat (rebab, siter, clempung).
“Semuanya, kalau ditabuh dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam karawitan pasti akan menjadi harmoni. Kalau yang hampir setara dengan fungsi kendhang adalah ‘rebab’ (pamurba lagu). Namun rebab hanya bertugas memberikan peta nada kepada sinden (penyanyi). Secara keseluruhan kendang yang menjadi pengendali orkestra gamelan,” pungkasnya.