Lingkungan(rebowagen.com)– Tanaman bambu, buluh atau aur (bambusoidiae) adalah tanaman yang umum dijumpai di sekitar kita. Jenis tanaman beruas-ruas (ros) ini termasuk dalam jenis famili Poaceae. Bambu disebut sebagai pring/empring oleh masyarakat Jawa, di Sunda, bambu disebut awi atau tamiang. Tanaman yang berbunga setahun sekali ini dikenal sebagai tanaman yang mempunyai pertumbuhan paling cepat di dunia. Hal ini dikarenakan bambu mempunyai sistem rhizoma dependen yang unik. Pada masa pertumbuhannya, tanaman ini dalam sehari bisa tumbuh rata-rata sepanjang 60 cm (24 inch), tergantung keadaan tanah dan klimatologi lingkungannya.
Di seluruh dunia, dikenal ada 1.439 jenis bambu, dan ada sekitar 162 jenis tumbuh serta berkembang baik di Indonesia. Dari jumlah itu, tercatat 125 jenis merupakan tanaman endemik tanah air (lipi.go.id). Pemanfaatan bambu bagi masyarakat meliputi banyak keperluan sehari-hari. Masyarakat desa menjadikan bambu sebagai bahan utama membuat konstruksi rumah, perkakas rumah tangga, alat musik tradisional dan banyak lagi yang lain. Bambu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, bahkan, bambu sudah menjadi bagian dari budaya sehari-hari.
Di Jawa, dikenal beberapa jenis bambu yang umum dijumpai dan digunakan oleh masyarakat desa, diantaranya bambu ori, apus, petung, wulung dan bambu kuning. Bagi masyarakat Kabupaten Gunungkidul, selain secara fungsional, bambu juga menjadi bagian penting dari sejarah peradaban. Dapat dilihat dari sejarah asal-usul dusun atau desa atau suatu kawasan tertentu, yang kemudian menjadi nama daerah tersebut (toponimi).
Melansir data dari Komunitas Resan Gunungkidul, dari jumlah 1431 dusun di seluruh Gunungkidul, terdapat 548 (38,29 persen) nama dusun bertoponim nama tumbuhan, anatomi tumbuhan, atau hal-hal yang berhubungan dengan tumbuhan. Dari jumlah itu, ada 30 dusun yang menggunakan nama bambu, misal Papringan, Pringombo, Ngepringan, Pringsurat, Pringsangar, Pringapus, Petung, Pringwuluh, Wuluh, Bungmanis Ngampel, Nglampar, Singkar dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa bambu melekat dan sangat dekat dengan perkembangan peradaban masyarakat Gunungkidul.
Fungsi bambu dilihat dari sisi ekologi
Sejak dulu, bambu dikenal sebagai penahan tanah longsor nomor satu dibanding jenis pohon yang lain. Rumpun bambu sangat sering kita lihat tumbuh di sepanjang pinggiran sungai, atau pada tanah-tanah miring di lereng bukit. Dengan kemampuan akarnya yang mempunyai fungsi menyerap air dan mengikat tanah, bambu mempunyai kemampuan sebagai penahan erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Terkait mitigasi perubahan iklim (climate change), diketahui bahwa satu hektar bambu mempunyai kemampuan menyerap karbon hingga 100-400 ton per tahun.
Melansir tulisan lipi.go.id (lembaga yang sekarang berganti nama BRIN), dalam artikel berjudul Antisipasi Bencana Dengan Bambu (2016), dijelaskan bahwa bambu adalah tanaman yang ideal untuk memperbaiki kondisi daerah hulu dan sempadan sungai sebagai upaya mencegah banjir dan tanah longsor.
“Penanaman bambu lebih baik dilakukan, daripada pembetonan di hulu dan sempadan sungai. Pembetonan hanya dapat membuat stabil tanah secara kinetik,”
kata Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati.
Lebih lanjut, Enny menjelaskan bahwa pembetonan itu justru malah berimbas kepada kawasan sempadan tidak bisa menahan erosi ketika air datang. Dan yang lebih fatal, struktur beton akan menghilangkan sumber mata air di sepanjang tepian atau sekitaran sungai.
Fungsi bambu sebagai tanaman konservasi dan ekonomi
Bicara konservasi memang sering berbenturan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Banyak orang beranggapan bahwa pohon atau tanaman hanya sekedar dilihat dari nilai ekonomi atau estetika. Entah buah, bunga, daun, atau kayu yang bisa dijual. Hal ini membuat tanaman yang mempunyai fungsi konservasi seperti bambu atau yang lain dianggap tidak punya nilai apa-apa dan dengan gampang akan ditebang atau dihilangkan.
Padahal sebetulnya, hasil dari kerja-kerja konservasi si pohon ini mempunyai nilai ekonomi tak langsung yang luar biasa. Sebut saja ketersediaan air, kesuburan tanah, oksigen, penyerap polusi atau sebagai mitigasi bencana, jika dinominalkan, dirupiahkan, akan tak terhitung harganya.
Nah, bambu sebetulnya mempunyai dua fungsi ini, baik konservasi atau ekonomi. Di beberapa negara, komoditas bambu mempunyai peran besar dalam menyumbang devisa negara dan pendapatan masyarakat. Di Cina, dengan sistem pengelolaan yang tepat, bambu juga bisa menjadi sebuah industri. Hutan bambu dikembangkan sebagai hutan lestari berbasis masyarakat, baik di luar maupun di dalam kawasan hutan. Dengan model pengelolaan 4P (people, public, private, partnership) yakni kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan industri swasta, industri bambu mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 28,4 persen.
Melansir artikel pada website Pojok Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan judul Bambu Penggerak Ekonomi dan Kualitas Lingkungan Hidup, Dr. Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup menulis bahwa, bambu adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK) Indonesia yang belum mendapat perhatian optimal dalam pengembangan dan pemanfaatannya. Padahal, nilai HHBK dari bambu tergolong sangat tinggi, yakni mencapai 90 persen dari nilai hasil hutan. Sementara untuk kayu yang selama ini identik dengan hasil utama hutan sebenarnya hanya menyumbang 10 persen produksi (KLHK 2019). Bambu juga ditetapkan sebagai salah satu dari 6 jenis unggulan HHBK nasional yang sangat berpotensi untuk dikembangkan (Peraturan Menteri Kehutanan p-21/menhut-II/2009).
Namun begitu, komoditas bambu masih belum digarap secara serius. Tanaman ini digunakan hanya dalam bentuk sederhana atau mentah, sehingga nilai tambah produksinya masih rendah. Pemanfaatannya juga masih dalam skala lokal dengan tekhnologi pengolahan tradisional. Pengetahuan masyarakat yang terbatas terhadap teknologi pengolahan bambu akhirnya menjadikan paradigma umum bahwa bambu nilai ekonomisnya rendah.
Bambu identik dengan kemiskinan, dan akhirnya tanaman bambu gampang sekali dirombak untuk kepentingan alih tata guna lahan. Akibatnya, semakin hari keberadaannya semakin jarang dan berkurang. Fungsi bambu sebagai tanaman utama konservasi yang punya nilai ekonomi tinggi akhirnya tidak tergarap secara maksimal.
Bambu dan mitigasi bencana tanah longsor di Kabupaten Gunungkidul
Cuaca ekstrim yang dipicu perubahan iklim mengakibatkan banyak bencana. Banjir bandang dan tanah longsor akhir akhir ini sangat sering terjadi. Di Kabupaten Gunungkidul, yang sebagian besar sebagai wilayah karst, bencana kekeringan hampir bisa dikatakan sebagai rutinitas musim kemarau. Di kapanewon yang terletak di wilayah Zona Batur Agung Utara, saat tiba musim penghujan, bencana tanah longsor juga semakin tahun intensitasnya semakin meningkat. Kapanewon Patuk, Gedangsari, Ngawen, Nglipar adalah wilayah yang rentan terhadap bencana tanah longsor. Memasuki awal musim penghujan tahun 2022 ini, dilaporkan sudah terjadi beberapa kali kejadian longsor yang menimpa rumah maupun akses jalan.
Bencana longsor diawali dengan terjadinya erosi tanah. Tanah yang dalam kondisi kritis akan terkikis air dikarenakan minimnya tutupan vegetasi yang melindunginya dari terpaan air hujan langsung. Struktur batuan solid endapan magma gunung api purba (batuan Ignesius) yang permukaannya licin menyebabkan potensi longsor semakin besar. Struktur tanah di zona utara Gunungkidul bisa dikatakan hanya menempel di atas batuan ‘Ignesius‘ ini, sehingga jika terjadi rekahan, air hujan masuk, maka tanah longsor akan mudah terjadi.
Nah, fungsi akar bambu sebagai pengikat tanah dan air sangat penting di zona ini. Penanaman bambu di lereng-lereng bukit yang miring dan berlahan kritis menjadi salah satu upaya terbaik sebagai upaya mitigasi bencana tanah longsor. Keistimewaan bambu sebagai tanaman konservasi sekaligus mempunyai nilai ekonomi harus dipahami bersama.
Dengan konsep 4P (people, public, private, partnership) yang saya utarakan diatas, penataan kawasan, pemetaan daerah rawan bencana longsor, serta perlindungan kawasan penyangga konservasi sangat penting segera dilakukan. Tanaman bambu adalah salah satu jawaban terbaik terhadap masalah lingkungan di zona utara Gunungkidul.
Saya mengulang apa yang telah disampaikan oleh Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI (BRIN). Bahwa upaya betonisasi untuk pencegahan longsor sangat tidak efektif. Selain mahal dan perawatannya berbiaya tinggi, betonisasi hanya mampu menahan stabil tanah secara kinetik Belum efek negatif lainnya terhadap lingkungan, salah satunya mempengaruhi ekosistem alami yang berimbas pada hilangnya sumber air.