Kearifan lokal(rebowagen.com)— “Nèk nduwe bayi ora sah diajak nèng nggon sripah, mêngko ndak kêna sawan (kalau punya bayi tidak usah diajak melayat ke rumah duka, nanti bisa terkena sawan)” begitu kata Mbah So ketika melihat Mbak Sri yang berencana melayat di rumah tetangga dengan menggendong bayinya yang baru berumur selapan hari atau 35 hari.
Mbak Sri adalah seorang ibu berputra tiga yang tinggal di Padukuhan Dung Gubah, Kalurahan Duwet, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Sehari-hari ia berjualan bakso di rumahnya sambil ‘momong‘. Dari pengalaman merawat ketiga anaknya, Ia menceritakan ada beberapa nasehat dari orang tua (simbah) tentang merawat bayi agar tidak terkena ‘sawan’.
‘Sawan‘ merupakan suatu istilah penyakit yang tiba-tiba menyerang bayi tanpa sebab yang jelas. Istilah ‘sawan‘ dulu sangat familiar di masyarakat pedesaan Gunungkidul. ‘Sawan‘ mayoritas dialami oleh bayi atau anak-anak, gejalanya berupa demam tinggi, tantrum dan kejang-kejang mendadak. Kadang bayi tiba-tiba rewel atau menangis dengan keras tanpa mengeluarkan air mata.
Beberapa orang desa meyakini bahwa kondisi ini disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Biasanya Anak-anak bisa terkena ‘sawan‘ saat diajak orang tuanya untuk melayat, menghadiri pesta pernikahan, atau setelah datang dari tempat-tempat ramai. Bayi/anak yang berada di rumah juga bisa terkena ‘sawan‘ ketika orang tuanya pulang dari bepergian, tiba di rumah langsung masuk ke kamar dan menyentuh bayi.
“Nasehat Mbah So, saat baru datang dari jauh, tidak boleh langsung ke kamar, tapi menuju dapur kemudian secara bergantian, kedua kaki diacungkan ke mulut ‘pawon’ (perapian) seperti gerakan menendang pelan, itu katanya untuk membuang sawan yang menempel,”
lanjut Mbak Sri.
Selain hal tersebut, nenek moyang kita sudah punya solusi untuk mengatasi ‘sawan‘. Masyarakat Gunungkidul dulu percaya bahwa penangkal ‘sawan‘ adalah dengan menggunakan racikan rempah dlingo, bengle dan bawang. Ketiga rempah tersebut dipotong kecil-kecil, kemudian direnteng dengan peniti lalu dipasang pada ‘kupluk‘ (topi) atau baju si bayi. Resep ini telah diwariskan turun temurun dan terbukti ampuh.
“Pas aku habis lahiran, Simbah So langsung ngasih potongan dlingo, bengle, sama bawang dikasih peniti terus dipasang di topi bayi, katanya biar nggak diganggu makhluk halus,” ungkap Mbak Sri sambil menyuapi anaknya.
Pada jaman sekarang, kepercayaan pemasangan potongan rempah dlingo, bengle dan bawang merah ini sudah banyak yang meluntur terbawa jaman. Beberapa orang menganggap bahwa memberikan ramuan penangkal ‘sawan‘ tidak ada fungsinya, dianggap kolot dan tidak logis.
Saya akhirnya mendapat sedikit pencerahan saat Sabtu (11/6/ 2022) lalu berkesempatan ngobrol dengan Mbak Asri. Ia adalah founder Agradaya yang juga seorang herbalis. Agradaya adalah sebuah perusahaan yang banyak berkecimpung dalam dunia rempah-rempah untuk kesehatan.
Mbak Asri banyak bercerita bahwa proses mendirikan Agradaya awalnya terinspirasi dari pengetahuan dan resep pengobatan nenek moyang.
“Waktu awal pandemi Agradaya pernah dapat permintaan ‘Banggle Oil’ dari Belgia, waktu itu saya tidak tahu apa itu ‘Banggle’ dan ternyata itu adalah rempah bengle, mereka mau menggunakannya untuk penangkal virus,” lanjutnya.
Dari hal itu, Mbak Asri lalu teringat bahwa simbah-simbah dulu sering memasang dlingo, bengle dan bawang pada pakaian bayi, dan ternyata hal itu ada tujuannya.
“Ternyata kandungan zat tertentu ketiga rempah itu mempunyai fungsi untuk menangkal virus,” terang Mbak Asri.
Saya kemudian jadi teringat, di beberapa ‘layatan‘ (takziah) orang meninggal di pedesaan, di dekat ‘ténggok‘ (kotak) uang takziah disediakan air dalam sebuah mangkok yang berisi potongan-potongan rempah dlingo dan bengle. Para takziah yang datang setelah memasukkan uang takziah kemudian mencelupkan jarinya ke mangkok untuk diusapkan di tangan, belakang telinga serta mata kaki. Juga diusapkan ke anak-anak yang kebetulan ikut melayat.
Obrolan dengan Mbak Asri semakin seru saat kami membahas peran rempah-rempah ini pada jaman modern. Perubahan pola pikir dalam berbagai bidang akhirnya berpengaruh terhadap penggunaan rempah-rempah di masyarakat luas.
“Berbagai kemudahan dalam hal apapun akhirnya membuat kita lebih senang dengan sesuatu yang instant dan praktis, termasuk dunia kesehatan dan pengobatan,” imbuh Mbak Asri
Sikap pragmatis ini akhirnya membuat banyak khasanah ilmu lokal dari nenek moyang yang terpinggirkan dan pelan pelan mulai hilang. Sering dianggap kuno bahkan tak sedikit yang dicap sebagai mitos, mengada-ada, repot atau tak ada manfaatnya. Yang lebih ekstrim jika dikaitkan dengan kepercayaan tertentu akan dianggap ‘nguri-uri‘ atau menyembah makhluk halus.
Gerusan jaman, akhirnya membuat tidak sedikit pengetahuan pengobatan lokal, dan fungsi serta manfaat tanaman herbal yang banyak tumbuh dan tersedia disekitar kita akhirnya ditinggalkan.
“Nenek moyang kita meracik suatu resep tentu bukan karena iseng, tapi berdasarkan pengalaman dan ilmu ‘titen, niteni’, dan itu hasil dari pengalaman empirik,”
ungkap Mbak Asri.
“Beberapa racikan rempah tradisional memang diiringi dengan narasi-narasi mistis seperti pengusir makhluk halus atau makhluk gaib tapi menurutku itu masuk akal. Coba sekarang lihat virus, bakteri, atau mikro organisme apa mereka kelihatan? Mereka beneran makhluk halus, bisa jadi jaman dulu belum ada istilah virus” ujar Mbak Asri bersemangat sekali.
Membahas terkait ramuan tradisional memang kerap berujung pelik, masih minimnya riset terkait ramuan nenek moyang ini membuat keberadaannya mulai terancam. Padahal, lanjut Mbak Asri ada beberapa kerja-kerja rempah yang sifat penyembuhannya tidak langsung, perlu proses dan ketelatenan dalam penerapannya.
Hal yang jauh lebih penting daripada mengobati adalah mencegah. Resep dlingo, bengle, bawang merupakan upaya pencegahan yang dilakukan nenek moyang kita untuk mencegah ‘sawan‘ atau virus dalam bahasa sekarang.
“Rempah-rempah itu bersifat holistik, fungsinya berkali lipat lebih baik ketika digunakan saat tubuh kita sehat, bukan pas sakit. Tapi bukan berarti ketika kita menggunakan rempah jadi tidak bisa sakit, tubuh manusia dibeberapa momen tetap butuh sakit” pungkas Mbak Asri.