Daftar isi
Gunungkidul (rebowagen.com)– Setiap daerah di Indonesia tentu memiliki landmark atau ikonnya masing-masing. Ikon ini bisa berbentuk sebuah benda, bangunan, tugu, dan tempat bersejarah lainnya. Misalnya, kota Yogya memiliki Tugu Pal Putih, kota Bandung mempunyai Gedung Sate, kota Jakarta dengan Tugu Monas, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya sebagai penanda suatu wilayah, ikon juga mencerminkan identitas atau karakter masyarakat yang lahir dan tinggal di wilayah tersebut. Di balik sebuah ikon kota atau daerah, selalu terdapat sejarah panjang yang di dalamnya memiliki makna atau filosofi yang penting diketahui setiap masyarakat.
Dalam buku Good City Form, penulis Kevin Lynch menuturkan bahwa identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh sosial-ekonomi-budaya masyarakat itu sendiri.
Gayengnya polemik ikon di Gunungkidul beberapa waktu lalu, baik ikon Taman Budaya Gunungkidul (TBG) maupun Tugu Tobong menggugah saya untuk sedikit menelisik ikon Gunungkidul yang telah ada dan populer serta menjadi identitas sejak tahun 1980an. Identitas itu berbentuk berbentuk bendera/umbul umbul dengan nama ‘Podang Ngisep Sari‘.
Hampir setiap orang yang lahir atau tinggal di Gunungkidul, setidaknya pernah melihat atau memasang umbul-umbul berwarna dasar kuning dan merah ini.
Pada waktu masih kecil, saya sendiri sering melihat umbul-umbul itu berkibar di depan rumah. Bapak saya biasa memasang umbul-umbul itu saat ada acara Rasulan (Bersih Desa), lomba desa, atau acara Agustusan atau menyambut tamu para pejabat. Biasanya, umbul-umbul itu diikat pada sebuah bambu kecil berukuran panjang, lalu dipasang di pinggir jalan atau di tempat umum tertentu berjajar-jajar.
Penasaran dengan umbul-umbul Podang Ngisep Sari yang saya yakini pasti memiliki sejarah panjang serta arti dan makna yang mendalam dalam perjalanan Gunungkidul, pada Minggu(19/5/2022), saya menemui salah seorang tokoh dan budayawan Gunungkidul, CB Supriyanto (70), yang juga sebagai Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul.
1. Podang Ngisep Sari Sebagai Identitas Gunungkidul
Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada saat Hari Jadi Gunungkidul yang ke-191, sepanjang jalan di Kota Wonosari saya melihat umbul-umbul Podang Ngisep Sari berjajar dan berkibar dengan gagah. Saya pun mencoba riset kecil-kecilan dengan menanyakan perihal umbul-umbul tersebut kepada sejumlah warga Gunungkidul, yang saat itu tengah menonton pawai, salah satunya Aditya (17).
“Saya memang sering lihat umbul-umbul itu, Mas. Tapi, saya sendiri tidak tahu namanya. Setahu saya, ya, cuma umbul-umbul berwarna merah kuning saja,” tutur remaja yang akrab disapa Adit itu.
Adit menambahkan, ia juga sering memasang umbul-umbul itu saat ada acara Bersih Desa/Rasulan di desanya. Namun Adit mengaku, ia dan teman teman Karang Taruna hanya sekedar memasang umbul-umbul tersebut, tapi belum pernah ia mendengar nama umbul-umbul, apalagi arti atau makna yang tersimpan.
Senada dengan Adit, dari beberapa warga yang saya tanya mengenai umbul-umbul tersebut, ternyata masih banyak warga yang belum mengetahui nama panji yang berwarna merah dan kuning itu. Padahal, umbul-umbul ini sudah populer sejak era tahun 1980-an.
“Dulunya, Podang Ngisep Sari itu sebuah panji yang diberi oleh pihak Keraton sebagai penanda atau identitas wilayah. Masing-masing kabupaten di DIY itu punya panji dalam rangka menyatukan konsep Keraton sebagai pusat budaya,”
tutur CB Supriyanto mengawali perbincangan kami.
Pria yang akrab disapa Pak CB itu melanjutkan, dulu bentuk panji Podang Ngisep Sari itu berwarna jenar (kuning) dan terdapat lingkaran atau titik berwarna rekta (merah) di tengah (mirip bendera Jepang). Kemudian awal tahun 1990-an, pihak Pemerintah Kabupaten Gunungkidul meminta izin kepada pihak Keraton untuk menjadikan panji tersebut sebagai umbul-umbul.
“Agar lebih memasyarakatkan filosofi Podang Ngisep Sari, dulu Bupati Gunungkidul ke-22, Subekti Sunarto (1989-1994), meminta izin kepada Keraton untuk membuat umbul-umbul tersebut. Soalnya kalau dalam bentuk bendera kan susah masangnya, jadi lebih mudah dibikin umbul-umbul, akhirnya pihak Keraton mengizinkan,” lanjut Pak CB.
Setelah mendapatkan izin dari pihak Keraton, akhirnya Pemkab Gunungkidul waktu itu mulai membuat umbul-umbul Podang Ngisep Sari. Berbeda dengan sebelumnya yang berbentuk kotak, umbul-umbul mulai dibuat dengan ukuran memanjang dengan warna merah dan kuning yang tetap dipertahankan.
“Intinya, umbul-umbul bisa disebut Podang Ngisep Sari jika memiliki warna merah dan kuning, dengan catatan warna kuning harus mendominasi, misalnya lebar umbul-umbul satu meter, maka warna kuning harus 60 cm dan merah 40 cm, terus panjangnya kurang lebih 7-10 meter,” terang Pak CB.
Awalnya, umbul-umbul Podang Ngisep Sari hanya dipasang di sekitar Alun-alun Wonosari saja, tetapi sekitar akhir 1990-an, Pemkab Gunungkidul mulai mensosialisasikan pemasangan umbul-umbul ini kepada warga masyarakat luas. Sejak saat itu, banyak warga yang kemudian memasang umbul-umbul ini pada saat acara-acara tertentu, mulai dari perayaan Hari Jadi Gunungkidul, lomba desa, Agustusan, Rasulan, dan lainnya.
“Ya, sejak saat itu umbul-umbul iklan sedikit berkurang di Gunungkidul. Dulu kan, umbul-umbul iklan lumayan mendominasi saat ada perayaan-perayaan di wilayah Gunungkidul, jadi kehadiran umbul-umbul Podang Ngisep Sari ini sebagai salah satu upaya mengembalikan identitas Gunungkidul, biar tidak ketutup sama iklan,” ujar Pak CB diselingi tawa.
2. Makna di Balik Umbul-umbul Podang Ngisep Sari
Akhirnya, dalam perkembangannya, Podang Ngisep Sari telah menjadi identitas warga Gunungkidul secara keseluruhan. Namun ternyata, belum banyak warga Gunungkidul yang mengerti sepenuhnya mengenai filosofi umbul-umbul ini, terutama kawula muda. Kurangnya literasi atau informasi tentang Podang Ngisep Sari, dianggap sebagai salah satu faktor ketidaktahuan masyarakat terhadap panji ini.
“Podang sendiri merupakan burung Kepodang berwarna kuning dan ngisep memiliki arti nyecep (menghisap). Sementara, sari adalah madu yang disimbolkan berwarna merah. Jadi, burung kepodang adalah masyarakat yang menghisap madu merah (kekayaan alam) bumi Gunungkidul. Dengan simbol ini, diharapakan agar masyarakat Gunungkidul mampu memanfaatkan kekayaan alamnya dengan baik,” jelasnya.
Selain itu, Pak CB menambahkan dulunya umbul-umbul berwarna kuning dan merah ini kerap dijadikan ikat kepala warga sebagai penanda bahwa ia berasal dari Gunungkidul.
Sejak awal disosialisasikan, diharapkan juga, Podang Ngisep Sari tidak hanya sekedar umbul-umbul saja, tetapi juga menjadi cerminan karakter masyarakat sekaligus sebagai wujud doa dan harapan agar masyarakat mampu memanfaatkan kekayaan alam dengan baik tanpa eksploitasi secara berlebihan.
“Gunungkidul itu memiliki kekayaan alam yang melimpah. Maka dari itu, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat untuk merawat dan menjaga kekayaan alam yang ada,”
terang Pak CB.
3. Angkuhnya Sampah Visual di Jalan dan Polemik Ikon Gunungkidul
Seiring pesatnya perkembangan zaman, tidak bisa dipungkiri bahwa umbul-umbul atau spanduk iklan cukup mendominasi di berbagai daerah, tak terkecuali di Gunungkidul. Banyak sekali billboard, reklame, atau spanduk iklan, terutama partai politik, yang terpasang dan berkibar di ruang-ruang yang tidak semestinya. Hal ini yang kemudian membuat wajah kota menjadi tampak angkuh, kotor, dan tidak ramah lingkungan.
Menurut Perda Nomor 2 Tahun 2015, sampah visual adalah iklan luar ruang yang ditempatkan tidak sesuai dengan peruntukannya. Adapun beberapa ruang yang “diharamkan” memasang iklan, yaitu trotoar, jembatan, bangunan, pohon, taman kota, tiang listrik, dan lampu penerangan Apil.
Beberapa wilayah di Gunungkidul sendiri sampai saat ini masih banyak ditemukan iklan yang dipasang tidak sesuai tempatnya. Pemasangannya juga sering tidak pas, misalnya dipaku di batang pohon hidup/perindang. Tidak hanya mengganggu pemandangan dan tidak ramah lingkungan, iklan-iklan ini juga semakin menggerus identitas Gunungkidul sebagai daerah yang menjunjung tinggi norma-norma, budaya, dan adat istiadat.
“Melihat banyaknya umbul-umbul iklan di jalan, terutama kampanye partai, memang cukup mengotori pemandangan. Maka dari itu, Pemkab Gunungkidul atau pihak-pihak terkait harus gencar mensosialisasikan umbul-umbul Podang Ngisep Sari. Dengan begitu, kita bisa mengembalikan identitas Gunungkidul dan meminimalisir penggunaan baliho atau spanduk iklan yang dianggap sering mengganggu kenyamanan,” tandas Pak CB.
“Harus ada upaya mengembalikan identitas Gunungkidul sebagai sebuah wilayah yang menjunjung nilai budaya dan ramah lingkungan. Selain itu, sosialisasi mengenai peraturan pemasangan iklan di jalan juga harus tegas dilakukan pihak Pemkab,” imbuhnya lagi.
Di samping itu, tokoh yang malang melintang di bidang Kebudayaan ini juga menyinggung adanya rencana revitalisasi ikon patung kendang di Bundaran Siyono, yang beberapa lalu sempat menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Menurutnya, rencana pembangunan ikon daerah ini harus benar-benar mencerminkan karakter warga serta menggali potensi yang dimiliki masyarakat. Hanya dengan begitu, ikon ini betul-betul bisa mempresentasikan warga Gunungkidul secara keseluruhan.
Terkait rencana penggantian ikon patung Kendang, Andi Kartojiwo, seniman perupa Gunungkidul, berpendapat bahwa sebuah monumental publik harusnya mampu mengangkat bentuk visual dari spirit masa lampau (sejarah) terbentuknya sebuah wilayah. Sedangkan, untuk ikon setiap kapanewon akan bersifat mengenalkan potensi dari masing-masing wilayah.
“Terlepas dari itu, apa pun ikon yang nantinya akan dibuat, yang jelas kesejahteraan masyarakat harus tetap diutamakan. Jangan sampai sebuah ikon justru malah menjadi sampah visual yang semakin menjauhkan dari identitas Gunungkidul,” harap Andi.
“Bizutalah, apa to gunane mbangun tugu-tugu gede ngono kui nek dalan deso nggone dewe ngene iki tetep nggronjal ora kalap? Hambok danane kui dienggo ngelus dalan karo masang lampu ben padang!”
(Halah, apa gunanya membangun tugu besar kalau jalan di desa kita ini tetap nggronjal tidak karuan? Mending dananya dipakai untuk menghaluskan jalan dan memasang lampu biar terang!),”
tutur Mbah Arjo, pria paruh baya yang sehari-hari berprofesi sebagai petani.