Lingkungan (rebowagen.com)– Pohon resan tua itu bernama Trembesi (Samanea saman), orang Gunungkidul menyebutnya sebagai Pohon Munggur. Selama ratusan tahun ia menjaga mata air Sumberan yang terletak di Padukuhan Karbolo, Kalurahan Sumberejo, Kapanewon Semin, Gunungkidul.
Api telah membakar sebagian tubuhnya. Pokok pohon hingga batangnya sebagian telah menghitam dilalap api. Bahkan, dahan dan ranting pohon bagian atas sebagian juga telah terbakar. Sepotong dahan sebesar tubuh manusia, telah ‘sempal‘ (patah) dan teronggok di tanah, menghitam menjadi arang. Ironis memang, oknum manusia yang menggunakan air yang ia jaga selama ratusan tahun, justru malah menginginkan kematiannya.

Kasus pembunuhan pohon besar akhir-akhir ini memang marak terjadi di Gunungkidul. Pohon-pohon berusia ratusan tahun ini terpaksa harus mati menderita karena sengaja dibunuh dengan berbagai cara. Oleh beberapa oknum manusia, mereka sudah tak lagi dianggap sebagai makhluk yang mempunyai fungsi atau arti lagi.
Bahkan, kehadirannya dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kepentingan manusia. Pohon disalahkan karena dianggap tidak punya nilai ekonomi, menyita lahan, mengganggu tanaman lain atau bangunan. Meresahkan karena dianggap angker, mistis, sebagai ‘omah dhemit‘ dan banyak stigma negatif yang dilekatkan kepadanya. Peran dan fungsinya selama ratusan tahun dalam menjaga kehidupan, seakan tak diperhatikan lagi. Beberapa orang merasa terganggu dengan keberadaanya. Sehingga akhirnya, ia harus dilenyapkan
Pohon munggur penjaga mata air Sumberan ini adalah kasus kesekian kalinya yang terjadi. Sebelumnya tercatat, Beringin Pasar Kawak yang mati karena diracun. Resan Pohon Klumpit penjaga mata air Beji, yang akarnya dilubangi dan dituang racun tanaman. Padahal mata air yang keluar di bawahnya digunakan oleh ratusan warga. Pohon Gondang raksasa yang menjaga Belik Gondang juga roboh dan mati karena pokok pohonnya dibakar. Tak cukup itu, belik/mata air di bawahnya juga ditimbun untuk kepentingan secuil lahan pertanian.

Itu baru sebagian kecil yang tercatat, pohon-pohon raksasa yang lain, banyak yang dirobohkan atau dibunuh pelan-pelan untuk kepentingan egoisme manusia. Entah itu tergusur pembangunan jalan, atau akan digantikan dengan tanaman lain yang dianggap lebih punya nilai estetika atau ekonomis.
“Pohon ini sudah dibakar sampai dua kali, ‘eman-eman tenan’ (sayang sekali). Salah apa pohon ini, sejak saya kecil, waktu dolan ke rumah eyang, saya sering mandi dan mengambil air disini, dan pohon ini besarnya ya sudah segini,”
kata seorang pria setengah baya yang menghampiri kami sore itu di lokasi.
Pria itu bernama Totok, kebetulan ia sedang membersihkan rumah eyang/kakeknya. Kesehariannya, ia berumah di Klaten, dan dalam jangka waktu tertentu menyambangi rumah eyangnya yang telah lama kosong.
“Kasihan, kok sampai ada yang tega membakarnya, pohon ini bisa mati,” ulang Totok dengan geleng-geleng kepala.

Dari cerita Totok, dulu kakeknya yang menjadi juru kunci Sendang Sumberan. Rumah kakeknya hanya berjarak sekitar 70 meter dari lokasi sendang. Kebetulan, dulu kakeknya menjadi Carik/Sekertaris Desa di Kalurahan Sumberejo, Kapanewon Semin. Garis keturunan keluarganya konon juga masih ada hubungan darah dengan keluarga keraton.
“Waktu eyang masih, upacara adat ‘rasulan’ diselenggarakan di sekitar lokasi sendang. Status tanahnya adalah Sultan Ground (SG), lha itu ada patoknya,”
imbuh Totok sambil menunjuk patok tanah bercat merah bertuliskan SG.
Sendang Sumberan, airnya dulu digunakan oleh banyak warga untuk keperluan sehari-hari. Lokasinya terletak di pinggir lahan persawahan penduduk. Jaraknya sekitar 50 meter dari jalan raya yang menghubungkan Kapanewon Semin dengan Ngawen. Pohon Munggur yang dibakar ini, usianya dipastikan sudah ratusan tahun lebih. Dapat dilihat dari besar diameter batangnya yang hampir lima rangkulan orang dewasa.
Sendang air yang ia jaga berbentuk persegi panjang, kira kira berukuran 1,5 x 4 meter. Air bening kelihatan masih keluar dan mengisi kolam sendang. Sebuah mesin diesel penyedot air teronggok di samping sendang, berikut selang yang diarahkan ke lahan persawahan di sekitarnya. Petani pemilik lahan di dekat sendang memang menggunakan airnya untuk budidaya sayuran. Tampak tanaman sawi yang baru berumur beberapa hari tumbuh subur berjajar di atas bedengan-bedengan.

“Airnya memang masih digunakan untuk pertanian penduduk. Kalau dulu, sebelum ada PAM, air Sendang Sumberan dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan sehari hari,” kata Sukamto, seorang teman yang rumahnya dekat dengan lokasi.
Pria ahli herbal yang akrab disapa Pak Kamto ini kemudian banyak bercerita kepada kami tentang awal mulanya kejadian pembakaran pohon ini.
“Benar, pohon ini dibakar dua kali, waktu itu malam-malam kami kaget, banyak yang keluar dan menonton pohon ini terbakar, ‘genine mulat-mulat’ (apinya berkobar-kobar),” lanjutnya.
Meski ia sendiri dan banyak warga lain menyayangkan kejadian ini, tapi menurut Pak Kamto, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, atau melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang.
“Lha tidak ada saksi yang melihat, siapa yang membakar pohon, jadi kami ya tidak bisa bertindak apa-apa,” imbuhnya.
Dari cerita Pak Kamto, sekitar tiga tahun yang lalu, pohon ini bahkan pernah dijual oleh salah seorang warga yang mempunyai lahan sawah di sekitar sendang. Konon cerita, ia bertindak seperti itu, karena merasa hasil panen padi miliknya kalah bagus dengan lahan milik tetangga-tetangganya. Rindangnya naungan pohon dianggap sebagai penyebabnya. Lahan sawah menjadi ‘keroyoman‘ (teduh), sehingga tanaman padi kurang sinar matahari. Akibatnya, hasil panennya tidak sebagus lahan yang ‘tenggar‘ (terbuka).

Cerita Pak Kamto, pohon sempat terjual, katanya seharga 40 juta. Warga yang menjualnya kemudian menghadap Pak Lurah untuk memberikan sebagian uang hasil penjualan pohon.
Waktu itu, lanjut Pak Kamto, Pak Lurah juga kaget, ini uang dari mana?, Saat tahu uang itu hasil penjualan pohon resan, Pak Lurah marah. Ia kemudian membuka peta ‘bawuk‘ (peta lama) milik desa yang menunjukkan bahwa lokasi pohon dan sendang, status tanahnya adalah milik Sultan (SG). Kemudian Pak Lurah meminta agar seluruh uang dikembalikan ke pedagang kayu yang membelinya. Beberapa orang yang sempat menerima uang itu akhirnya juga disuruh untuk mengembalikan semuanya.
“Saat pedagang kayu datang untuk menebang, oleh Pak Lurah dikatakan akan dilaporkan ke pihak berwajib, sehingga mereka tidak berani dan urung untuk merobohkan pohon,” kata Pak Kamto.
Setelah kejadian itu, keadaan kembali seperti biasa, hingga sekitar satu bulan yang lalu, warga dikagetkan dengan kejadian pembakaran pohon ini. Bahkan, kejadian ini terulang sampai dua kali.
“Separo pohon sudah hangus terbakar, kami takutnya pohon bisa roboh karena atasnya jadi berat sebelah dan tidak seimbang,” kata Pak Kamto.
Cahyo Pramono, seorang teman Pendamping Lokal Desa yang waktu itu ikut membersihkan pohon yang terbakar kemudian mengambil langkah cepat. Esok harinya ia menghadap ke kantor Kalurahan Sumberejo dan berkoordinasi dengan pihak Kalurahan.

“Pak Lurah dan Pak Carik mendukung untuk agenda penyelamatan pohon dan lokasi sendang. Secepatnya akan kita agendakan bersama Komunitas Resan Gunungkidul,” terang Cahyo.
Cahyo juga sangat menyayangkan kejadian ini, di mana sumber air beserta kawasan penyangga yang melindunginya seharusnya bisa menjadi aset potensi desa.
Ini mengingat bahwa mata pencaharian masyarakat kebanyakan masih petani, sehingga keberadaan sumber air seperti ini menjadi sangat vital.
“Sebaiknya memang ada aturan regulasi atau payung hukum yang jelas tentang perlindungan mata air. Jika terus terjadi pembiaran, maka sumber air akan banyak yang rusak atau terbengkelai, terus anak cucu kita nanti hidupnya bagiamana?”
kata Cahyo.
Fungsi pohon sebagai penjaga ekosistem terutama tanah dan air memang tak terbantahkan. Orang tua dulu, sangat arif menterjemahkan hal ini dengan adat dan budaya mereka. Pohon besar dan lokasi sumber air dianggap keramat dan tabu untuk dirusak. Leluhur menyadari bahwa air adalah sumber kehidupan. Jika siklus alami ini terganggu, maka akan ada perubahan pada kehidupan secara umum.
Pada perkembangan pemikiran modern, penebangan pohon besar yang menjaga mata air, mungkin menjadi suatu hal yang tidak penting untuk dibahas. Kebutuhan manusia akan air, bisa dicukupi dengan hanya cukup memutar kran. Pemikiran praktis membuat kita akhirnya sering melupakan arti dari sebuah proses.

Dalam skala besar, deforestasi hutan untuk kepentingan ekonomi sekarang semakin tak terkendali. Jika kita cermati bersama, efek dan dampak dari hal ini juga sudah tampak mata dan dialami oleh manusia di seluruh muka bumi. Efek rumah kaca, ‘global warming‘, cuaca ekstrim dan segala bencana alam yang menyertainya adalah hal yang nyata, terus berulang dengan intensitas semakin sering.
Sudah saatnya kita harus berfikir ulang tentang egoisme kita sebagai manusia. Kita yang selalu merasa menjadi subyek, dan alam sekedar obyek. Egoisme dan nafsu serakah yang pada akhirnya akan menggiring ras manusia pada sebuah kemusnahan.