Seni(rebowagen.com)– Seni bonsai pertama kali dikenal di China pada zaman Dinasti Tsin, sekitar tahun 265 M. Seni mengkerdilkan pohon yang ditanam di dalam wadah ini mulanya disebut sebagai ‘penjing‘. Pohon yang berukuran kecil, penampakannya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menyerupai bentuk pohon raksasa di alam bebas. Para bangsawan dan seniman kekaisaran China sangat menggemari seni ‘penjing‘. Terbukti ketika masa kekuasaan Dinasti Tang, banyak sekali lukisan-lukisan bertema pohon meliuk-liuk yang diciptakan.
Oleh para Bhiksu beragama Tao, seni ‘penjing‘ kemudian dikembangkan. Mereka mengartikan bahwa seni ‘penjing‘ mengandung filosofi tentang ajaran mendasar agama mereka. Salah satu ajaran pokok Agama Tao adalah keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan alam. Nah, ‘penjing‘ dianggap merepresentasikan nilai-nilai ini.
Melansir artikel kompas.com, pada masa Dinasti Yuan (1280-1368), seni ‘penjing‘ banyak diadopsi dan dibawa ke Jepang. Di negara Matahari Terbit, ‘penjing‘ berubah sebutan menjadi ‘bonsai‘, bahasa Jepang yang merujuk arti ‘bon‘ (pot) dan ‘sai‘ (tanaman), (Budidaya Bonsai, Iswarta Bima, 2019). Seni bonsai kemudian berkembang dengan cepat di Jepang. Antusias dan apresiasi masyarakatnya sangat tinggi. Pada akhirnya, banyak master seni bonsai berasal dari negeri Sakura ini.

Masyarakat Jepang juga menilai seni bonsai bukan sebatas tentang pohon di atas pot. Ada banyak filosofi yang bisa diambil dan dipelajari, salah satunya adalah tentang kesabaran dalam melalui sebuah proses. Seni bonsai juga diartikan sebagai sebuah perpaduan antara filsafat kuno dan kepercayaan ketimuran, yakni keselarasan antara manusia, jiwa dan alam.
Pada tahun 1914, untuk pertama kali diadakan pameran bonsai di Jepang. Melihat animo pengunjung yang begitu tinggi, tahun berikutnya pameran diadakan secara rutin diberbagai kota-kota besar di Jepang. Sejak itu, bonsai mulai dikenal luas di berbagai negara. Dan dalam perkembangan selanjutnya, seni bonsai bukan lagi sebatas milik China atau Jepang, melainkan sudah menjadi sebuah hobi dan bisnis yang mendunia.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti kapan bonsai mulai masuk ke Indonesia. Namun, kegiatan menanam dan merawat pohon atau tanaman hias di dalam wadah/pot sebetulnya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Di Jawa Tengah, dikenal dengan istilah ‘petetan‘ yang artinya ‘tanaman di dalam wadah’. Prinsip ‘petetan‘ ini sangat mirip dengan bonsai, hanya perbedaanya, dalam ‘petetan‘, pohon tidak dibentuk atau diarahkan seperti dalam seni bonsai.

Dari catatan resmi, bonsai di Indonesia mulai berkembang pesat setelah dibentuk Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI). Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1979, yang diketuai oleh Soegito Sigit, dengan anggota/pendiri awal hanya berjumlah 7 orang. Dengan agenda rutin pameran, akhirnya bonsai mulai dikenal di masyarakat luas. Di tahun 2013, PPBI sudah mempunyai 87 cabang di seluruh Indonesia dengan ratusan ribu anggota. Bahkan, produk-produk bonsai dari Indonesia akhirnya mampu bicara dalam event pameran bonsai internasional. Bisa dikatakan, terbentuknya PBBI adalah tonggak awal perkembangan bonsai di Indonesia.
Seni bonsai di Gunungkidul
Secara geografis, Gunungkidul mempunyai wilayah yang mayoritas berupa bukit-bukit berbatu dengan iklim yang kering. Dengan keadaan alam yang keras, pertumbuhan pohon di alam akhirnya banyak yang tak berkembang sempurna (kerdil). Pohon-pohon kerdil inilah yang akhirnya banyak diburu (dongkel) oleh para penggemar bonsai untuk dijadikan ‘bakalan‘ (calon bonsai). Perburuan ‘bakalan‘ bonsai ini marak dilakukan sejak beberapa dekade yang lalu.

Tak hanya warga lokal, orang dari luar daerah juga banyak berburu ‘bakalan‘ bonsai di Gunungkidul. Nilai ekonomis dari ‘bakalan‘ bonsai yang cukup menggiurkan, akhirnya membuat perburuan pohon kerdil di berbagai wilayah Gunungkidul terjadi sangat masif.
Tercatat, perburuan jenis pohon drini/stigi (Pemphis achidula) di kawasan Pantai Drini di Kalurahan Banjarejo, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul membuat jenis tanaman ini bisa dikatakan keberadaannya hampir punah. Nama pantai Drini memang diambil dari jenis pohon drini/stigi. Ini adalah jenis pohon perdu yang tumbuh di kawasan tebing-tebing pantai, dan dikenal sebagai pohon bakalan bonsai yang punya nilai jual tinggi.
Jenis-jenis pohon lain yang mulai langka karena didongkel (diburu) yakni pohon langitan (ulmus), wareng bintang (Gmelina elliptica), serut (Streblus asper), wahong laut (Premna nauseosa), buni/wuni (Antidesma bunius), loa (Ficus racemosa), bunut (Ficus virens), ampelas (Ficus ampelas) dan pohon pule (Alstonia scholaris). Untuk jenis pule banyak diburu untuk dijadikan ‘bonsai garden‘ (perindang taman).
Kebutuhan estetika taman hijau dalam kota, akhirnya membuat perburuan pohon di alam tidak hanya yang berukuran kerdil. Pohon-pohon besar yang dinilai unik, juga ikut didongkel, untuk kemudian ditanam lagi sebagai ‘bonsai garden‘.

Selain sekedar hobi, perburuan ‘bakalan‘ bonsai memang banyak yang berorientasi soal ekonomi. Hal ini yang membuat aturan perlindungan pohon langka sering menjadi mandul dalam hal penindakan pelanggarannya. Akibatnya, sekarang ini jenis-jenis pohon tertentu keberadaanya sudah sangat terbatas di Gunungkidul. Stigma negatif para penghobi bonsai sebagai perusak alam akhirnya mau tidak mau melekat dan tak terhindarkan.
Bonsai budidaya
Berawal dari keprihatinan ini, sebuah komunitas penghobi bonsai bernama Gubuk Bonsai mencoba membuat wacana tentang bonsai budidaya. Sore itu, saya ngobrol dengan teman-teman Komunitas Gubuk Bonsai pada agenda pameran bonsai di rest area Doeloe Garden Resto, di Kalurahan Girisekar, Kapanewon Panggang, Gunungkidul. Menariknya, pada event pameran ini diadakan sesi acara Sarasehan Konservasi Alam yang dihadiri oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Yogyakarta dan Wakil Bupati Gunungkidul.
“Dengan acara ini, kami ingin berupaya untuk mulai belajar dan merubah persepsi bahwa bonsai tidak harus mendongkel, tapi bisa dengan cara budidaya,”
kata Iwan Setyawan, salah satu panitia pameran.
“Memang tak kami pungkiri bahwa sebagian besar bonsai yang dipamerkan ini masih dari dongkelan alam. Dulu kami memang belum begitu tahu tentang budidaya,” imbuh Bowo Priananto, sesepuh dari Komunitas Gubuk Bonsai.
Sebanyak 200 bonsai dipamerkan dalam agenda ini, dan sekitar 25 persennya adalah hasil dari budidaya. Berbagai jenis pohon ditampilkan, mulai dari beringin, serut, waru sampai stigi. Kami kemudian berkeliling stand pameran, mereka kemudian menunjukkan bonsai khusus hasil budidaya.
“Budidaya yang dimaksud adalah bakalan bonsai berasal dari cangkok, stek, atau biji. Jadi tidak dari hasil dongkelan,” terang Sigit Didit. Sigit adalah pebonsai yang mempunyai kebun budidaya di rumahnya.
Menurutnya, selain lebih ramah lingkungan, bonsai dari hasil budidaya juga relatif gampang untuk digarap. Trainer (seniman) bonsai bisa lebih mudah untuk memilih karakter batang, mengarahkan pembentukan ranting dan menata perakaran. Di samping itu, secara waktu dan ekonomi penghobi bonsai juga bisa lebih ngirit dalam belanja ‘bakalan‘ (bahan bonsai).

“Saat ini, untuk membeli bakalan dari dongkelan harganya juga sudah mahal, karena bahan bonsai di alam semakin berkurang,” lanjutnya.
Menurut Sigit, budidaya bonsai juga menjadi sebuah peluang usaha yang menjanjikan. Lahan yang digunakan juga tidak perlu terlalu luas. Ia pernah menghitung kalkulasi ekonomi lahan untuk budidaya jika dibandingkan dengan tanaman keras lain, jati atau akasia misalnya.
“Umpama kita memiliki lahan 10 X 30 meter, jika ditanami pohon jati atau akasia, maka maksimal hanya bisa ditanam sekitar 50 sampai 60 batang. Beda jika itu untuk budidaya bakalan bonsai, kita bisa menanam ribuan batang. Soal waktu panen, jati bisa dipanen ketika umur 20 tahun atau lebih, bakalan bonsai hasil cangkok atau stek, asal dirawat dan dibentuk, umur 5 tahun sudah bisa dijual. Secara kalkulasi keuntungan, juga bisa berlipat ganda, dengan catatan bakalan memang harus rutin dirawat,” terang Sigit panjang lebar.

Dari obrolan dengan teman-teman Gubuk Bonsai, saya sarikan beberapa teknik budidaya bakalan bonsai yang langsung bisa dipraktekkan
Cangkok
Teknik ini sudah umum dikenal oleh masyarakat luas. Biasanya diterapkan untuk jenis pohon buah-buahan, mulai dari jambu, mangga, jeruk, sawo dan banyak lagi jenis lainnya. Dalam budidaya bonsai, keuntungan dari teknik ini adalah pebonsai bisa memilih bentuk cabang sesuai keinginan, menyesuaikan dengan gaya bonsai yang akan ia bentuk.

Biasanya, indukan pohon yang akan dicangkok berada di alam. Tapi bagi para pebonsai budidaya, mereka mempunyai indukan pohon khusus yang ia ‘grounding‘ di kebun, sehingga mudah dalam perawatan dan pengawasannya.
Secara garis besar beginilah tahapan dalam mencangkok bakalan bonsai
- Pemilihan batang calon bakalan
- Kerat dan kupas kulit batang sepanjang sekitar 5 cm
- Bersihkan kambium (beri perangsang akar dan anti jamur, bila perlu)
- Bungkus keratan batang dengan diberi media (tanah, cocopit dll)
- Ikat ujung atas dan ujung bawah bungkusan
Pada budidaya Cangkok batang ini, di musim kemarau membutuhkan penyiraman. Setelah beberapa waktu, akar akan mulai tampak keluar di dalam bungkusan media. Saat dirasa akar sudah siap, maka batang dipotong pada bagian bawah, dan hasil cangkokan bisa dipindah/ditanam. Teknik cangkok ini, bisa diterapkan pada hampir semua jenis pohon bonsai.
Stek batang

Prinsipnya hampir sama dengan mencangkok, bedanya batang terpilih langsung dipotong dari pohonnya (biasanya batang yang belum begitu besar). Bagian bawah potongan kulitnya dikupas dan diberi anti jamur dan perangsang akar. Lalu, potongan batang ini ditanam langsung di dalam polibag. Simpan tanaman stek pada tempat yang teduh, jangan terkena sinar matahari langsung, sampai tumbuh tunas daun dan perakarannya kuat. Teknik ini bisa dilakukan dengan media air (stek air). Teknik ini biasa diterapkan pada berbagai jenis bonsai ficus (beringin).
Biji
Banyak budidaya bonsai yang mulai mempraktekkan penyemaian biji dari pohon tertentu untuk bahan bonsainya. Keunggulan dari teknik ini adalah, pohon yang tumbuh mempunyai daya hidup yang kuat. Bentuk batang juga lebih gampang diarahkan karena sudah diprogram dari kecil.
Sambung/tempel
Teknik ini menggabungkan dua jenis pohon bonsai. Misal, jenis pohon yang satu diambil batangnya, kemudian disambung tunas atau ditempel kulit (mata tunas) dengan jenis pohon lain. Beberapa varian yang sukses disambung adalah jenis wahong dengan sancang (menjadi bonsai wancang), atau jenis beringin bibisan dengan beringin korea.
Dalam buku ‘Mission of Transformation‘ (2019), karya Robert Steven, diterangkan bahwa seseorang yang menekuni seni bonsai, harus bisa memahami dan mendalami tentang rasa dan ikatan batin dengan alam. Bentuk bonsai yang baik, harus bisa menampilkan keselarasan, indah secara artistik, dengan petunjuk holtikultura yang meyakinkan, serta secara keseluruhan menyampaikan pesan tematik.
Komponen-komponen dari keseluruhan bentuk bonsai, baik akar, batang, dahan dan ranting mahkota, serta wadah dan aksesoris (pot, batu, rumput, lumut dll) harus selaras. Indah dan artistik dipandang mata, serta secara keseluruhan mampu membuat suasana harmoni alam.
“Terlambat lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali. Niat kami sebagai pebonsai untuk melakukan gerakan konservasi alam adalah sebagai bentuk ‘nempuhi’ (mengembalikan) apa yang sudah kita ambil dari alam,”
imbuh Bowo Priananto.
Kegiatan konservasi Komunitas Gubuk Bonsai tidak sebatas didiskusikan atau wacana. Panitia dan peserta juga mengajak warga untuk melakukan kegiatan penanaman pohon di beberapa kawasan telaga di wilayah Kalurahan Girisekar.
“Ke depan, kami akan memprogramkan untuk membuat satu event pameran, khusus bonsai budidaya,” pungkas mereka.
Wiwitane Wiji-wiji pecah wutah
Lan…..
wus wancine wiwit
Wit-witan thukul. Mak pencungul 😃🌱🌴